Rabu 12 Jul 2017 20:20 WIB

Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Simbol Toleransi di Timur Indonesia

Rep: WAHYU SURYANA/ Red: Agung Sasongko
Universitas Muhammadiyah Sorong.
Foto: Screen Capture Youtube
Universitas Muhammadiyah Sorong.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Toleransi secara otentik diterapkan Muhammadiyah, termasuk di Indonesia timur. Tidak tanggung-tanggung, enam Perguruan Tinggi Muhammadiyah berdiri di Indonesia timur, dengan mahasiswa yang sebagian besar merupakan non-Muslim.

Sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah, Muhammad Sayuti menuturkan, memang menjadi kebijakan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk memberi perhatian ke daerah terluar, terdepan dan tertinggal. Termasuk, daerah yang Muslimnya minoritas agar mendapat perhatian dalam konteks dawkawh.

Implikasinya, Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di kantong-kantorng non-Muslim menjadi perhatian, mengingat ada setidaknya enam PTM dengan rata-rata memiliki 70-80 persen mahasiswa non-Muslim. Terdapat empat PTM di Papua dan dua di Nusa Tenggara Timur (NTT).

PTM itu Universitas Muhammadiyah Sorong, Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Muhammadiyah Sorong, STIKIP Muhammadiyah Manokwari, Sekolah Tinggi Komputer (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura, Universitas Muhammadiyah Kupang dan IKIP Muhammadiyah Maumere.

Hebatnya, di kampus-kampus itu mereka yang sebagian besar beragama Protestan dan Katolik, memiliki kepercayaan yang sangat besar kepada Muhammadiyah. Padahal, mereka memiliki kewajiban mempelajari Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK), yang memberi pemahaman tentang Islam secara benar.

"Itu yang tidak banyak dimuat orang, kita (Muhammadiyah) non-Muslim saja percaya, dan selama kuliah mereka tidak pernah merasa diintimidasi, dan teman-teman dosen tentu melakukan modifikasi mata kuliah Al Islam tersebut," kata Sayuti saat dihubungi Republika, Rabu (12/7).

Sejumlah model pembelajaran memang diterapkan, terutama untuk AIK, mengingat setiap daerah tentu memiliki kekhasan sendiri. Tapi, penerimaan Muhammadiyah di kantong-kantong Katolik dan Protestan itu berjalan dengan baik, termasuk untuk lagu Sang Surya yang merupakan mars dari Muhammadiyah.

Ditambah anugerah asal rata-rata orang Indonesia timur, bisa dibilang penyanyi-penyanyi terbaik Sang Surya justru berasal dari kampus-kampus tersebut. Di Sorong, sudah pemandangan biasa ada non-Muslim yang memimpin lagu Sang Surya, sehingga menunjukkan lagi bagaimana penerimaan itu sangat baik adanya.

sumber : Center
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement