REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat tipis dalam periode enam bulan, sejak September 2016 hingga Maret 2017 lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2017 sebanyak 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari total penduduk.
Angka ini bertambah 6.900 orang dibandingkan jumlah penduduk miskin pada September 2016 lalu sebanyak 27,76 juta orang (pembulatan). Namun sebetulnya angka kemiskinan tahun ini menurun sebanyak 234 ribu orang dibandingkan Maret 2016 lalu. Artinya, bila dilihat dari tahun ke tahun maka jumlah penduduk miskin Indonesia relatif stagnan.
Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, penghitungan profil kemiskinan di Indonesia menggunakan metode yang sama sejak 1998 silam, dengan menghitung kebutuhan dasar yang dikeluarkan oleh setiap rumah tangga. Pengitungan kemiskinan mengacu pada kebutuhan rumah tangga berdasarkan pengeluaran untuk makanan dan minuman.
BPS mencatat, persentase penduduk miskin pada Maret 2017 mengalami penurunan tipis sebesar 0,06 poin, yakni dari 10,7 persen pada September 2016 menjadi 10,64 persen di Maret 2017.
"Penurunan ini relatif lebih lambat dibandingkan periode sebelumnya. (Jumlah penduduk miskin) hampir flat dibandingkan September 2016 lalu. Menunjukkan bahwa penurunan penduduk miskin jauh lebih lambat dibandingkan periode sebelumnya," kata Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Senin (17/7).
Lantas mengapa kemiskinan di Indonesia cenderung stagnan dan tidak ada perubahan signifikan? Suhariyanto menyebutkan bahwa bila dilihat maka tingkat inflasi di seluruh Indonesia dalam rentang September 2016 hingga Maret 2017 sebesar 2,24 persen. Meski tergolong kecil, tetapi angka inflasi ini mampu "berlari lebih kencang" dibandingkan perbaikan upah yang diterima buruh. Artinya, pendapatan yang diterima tidak cukup ampuh untuk mengimbangi nilai inflasi yang ada.
Selama September 2016 hingga Maret 2017, upah buruh tani baik yang nominal atau riil mengalami kenaikan. Namun upah buruh bangunan hanya naik untuk upah nominalnya saja. "Karena tidak mampu kejar inflasi sehingga periode tersebut upah riil buruh bangunan turun," kata Suhariyanto.
Tak hanya itu, sepanjang September 2016 hingga Maret 2017 sebetulnya sebagian besar harga komoditas pangan pokok mengalami penurunan. Beras misalnya, yang memiliki kontribusi tinggi terhadap kesejahteraan masyarakat mengalami penurunan rata-rata 0,11 persen. Selain itu, daging ayam, tepung terigu, dan gula juga mengalami penurunan dengan nilai masing-masing 3,98 persen, 0,7 persen, dan 5,06 persen.
"Hanya saja, ada penghambat yang cukup signfikan perannya. Awal tahun ini ada sedikit hambatan dalam penyaluran beras sejahtera. Ini diduga menghambat penurunan angka kemiskinan," kata Suhariyanto.
Sementara itu, dilihat dari kondisi antar pulau, Maluku dan Papua memiliki persentase penduduk miskin terbanyak yakni 21,45 persen. Sementara kalau melihat jumlahnya, Pulau Jawa masih menyumbang jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia, yakni 14,79 juta orang. Sementara Kalimantan memiliki persentase penduduk miskin terkecil dengan angka 6,25 persen.
"Kalau soal jumlah, kita maklum konsentrasi penduduk miskin ada di Jawa karena Jawa ini sudah padat sekali. 14,79 juta orang di Jawa," ujar Suhariyanto.
Sementara bila dilihat berdasarkan tempat tinggal, BPS juga menyebutkan bahwa penduduk miskin di desa jauh lebih tinggi dibandingkan kota. Jumlah penduduk miskin di perkotaan mengalami kenaikan sebesar 188.190 orang, namun sebaliknya terjadi penurunan penduduk miskin di perdesaan sebesar 181.290 orang. Hanya saja, penurunan penduduk miskin di perdesaan belum cukup ampuh menurunkan persentase penduduk miskin di desa sebesar 13,93 persen. Angka ini nyaris dua kali lipat dibandingkan jumlah penduduk miskin di perkotaan yang 'hanya' 7,72 persen dari total penduduk.
Suhariyanto menilai bahwa kondisi ini menunjukkan adanya disparitas yang cukup besar antara desa dan kota. Fakta angka bahwa jumlah penduduk miskin masih terkonsentrasi di perdesaan menunjukkan bahwa kemiskinan masih menjadi kunci persoalan di perdesaan. "Jadi kuncinya ada di desa dengan catatan kita harus tetap perhatikan persoalan di kota," ujarnya.