REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Misi PBB pada Kamis (27/7) menyatakan organisasi itu telah mengakhiri pelatihan tiga-hari mengenai penyakit mental untuk 30 profesional kesehatan mental dari berbagai lembaga di Baidoa, Ibu Kota Negara Bagian Barat Daya di Somalia. Misi Bantuan PBB di Somalia (UNSOM) mengatakan lokakarya tiga-hari mengenai pembangunan kemampuan akan mendorong upaya guna mengobati peningkatan jumlah kasus sakit mental di negara Tanduk Afrika tersebut.
Amelie Runesson, Penasehat Koreksi di UNISOM, mengatakan pelatihan itu bertujuan memberi kesempatan pertama mengenai semua bagi stigma seputar kesehatan mental. Kemudian para peserta yang memiliki dasar dalam gangguan umum kejiwaan, seperti gangguan stress pasca-trauma, dan juga memberi mereka dasar dalam penilaian psikologis, khususnya penyaringan bunuh diri.
"Saya kira satu alasan buat itu ialah akibat perang, yaitu banyak orang telah mengalami. misalnya, serangan dan kematian mendadak," kata Runesson di dalam satu pernyataan yang dikeluarkan di Mogadishu.
Menurut UNSOM, para peserta membahas berbagai cara guna mengakhiri pemikiran negatif seputar sakit mental dan mengkaji teknik perawatan bagi gangguan umum kejiwaan, demikian laporan Xinhua, Jumat (28/7) pagi. "Di Somalia, orang dengan masalah kesehatan mental biasanya disebut 'gila'," kata Runesson.
"Salah satu pesan utama yang dikirim ialah pentingnya memahaminya sebagai penyakit yang dapat diobati. Perubahan kosakata adalah langkah pertama untuk menantang pemikiran negatif tersebut," kata Runesson.
Para peserta meliputi staf dari penjara pusat Baidoa, rumah sakit jiwa di kota itu, dan Pusat Rehabilitasi, Demobilisasi dan Perlucutan Senjata Baidoa. Kondisi kesehatan mental di Somalia telah berada di belakang prioritas kesehatan selama beberapa dasawarsa, walaupun statistik yang tersedia memperlihatkan bahwa peristiwa sakit mental di negeri tersebut adalah salah satu yang paling tinggi di dunia.
Data di rumah sakit jiwa Baidoa menunjukkan peningkatan jumlah pasien yang didiagnosis menderita sakit mental. Tahanan dan narapidana rentan terhadap sakit mental, kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). "Kebanyakan pasien menunjukkan gejalan kondisi seperti skizofrenia, kecemasan, depresi dan epilepsi," kata direktur rumah sakit itu.