REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengamat komunikasi politik asal Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam, meminta seluruh pihak mewaspadai munculnya buzzer politik di media sosial menjelang digelarnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur 2018.
"Harus ada upaya dan sinergi agar munculnya buzzer politik diminimalkan, bahkan tidak seperti di Pilkada DKI sehingga tidak merembet ke Jatim," ujarnya ketika dikonfirmasi di Surabaya, Senin.
Istilah buzzer dikenal dalam dunia maya sebagai suatu aktivitas seseorang atau kelompok tertentu yang sengaja membuat propaganda terhadap produk politik (kontestan) dengan tujuan menimbulkan gangguan terhadap produk politik kompetitor.
Menurut dia, suhu politik Jatim sudah mulai menghangat dengan pemberitaan kontestasi Pilkada di berbagai media massa, dan media sosial menjadi platform baru sekaligus primadona menyampaikan informasi.
Untuk menghindarinya, kata dia, dibutuhkan langkah-langkah antisipasi dari penyelenggara Pilkada agar tak berefek negatif dengan penggunaan media sosial yang masif, cepat dan tak terkendali.
"Kekhawatiran terbesarnya adalah penggunaan media ini oleh kelompok kelompok profesional baik oleh buzzer politik maupun oleh pasukan sosmed yang bergerak khusus karena diorder pihak tertentu," ucapnya.
Tentu saja, lanjut dia, potensi konflik dan gesekan akibat benturan kebencian SARA mudah disulut oleh kerja kelompok ini. Tak terkecuali juga para 'pengusaha politik' yang memang ditugasi membangun opini dengan menghalalkan segala cara, termasuk mengeraskan konflik dan kebencian melalui media sosial.
Dosen komunikasi politik tersebut berharap KPU sebagai leading sector penyelenggaran Pemilu perlu kembali memformulasikan aturan tegas terhadap operasi kelompok profesional, agar pemilu semakin bermartabat.
"Masyarakat Jatim yang selama ini dikenal harmonis bisa jadi akan seperti Jakarta jika tidak ada langkah antisipasi serius. Kendati harmonis dan adem ayem, jika disulut permusuhan dan SARA bisa menganggu keamanan dan stabilitas wilayah," katanya.
Sementara itu, akademisi yang juga peneliti SSC tersebut menyampaikan berdasarkan hasil survei lembaganya periode Juni 2017, 83,4 persen masyarakat Jatim tidak menginginkan polarisasi konflik seperti di Jakarta, sedangkan 4,2 persen menjawab biasa saja, 2,8 persen menjawab nyaman dan sisanya 9,6 persen tidak menjawab.