Senin 28 Aug 2017 07:00 WIB
Analisis

Prediksi Perbankan Akhir Tahun

Red: Nur Aini
Adiwarman Karim
Foto: republika
Adiwarman Karim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adiwarman Karim

Ada beberapa hal yang menarik dari data konsolidasi revisi rencana bank-bank yang baru dilakukan.  Pertama, bank-bank ternyata menurunkan target pertumbuhan mereka. Pertumbuhan kredit yang tadinya ditargetkan 13,18 persen dikoreksi turun menjadi 11,79 persen.  Sedangkan target pertumbuhan dana yang tadinya 9,66 persen dikoreksi turun menjadi 7,49 persen.

Kedua, bila dibandingkan dengan data Outlook OJK akan semakin menarik. Outlook OJK memperkirakan pertumbuhan kredit 9-11 persen, dan pertumbuhan dana 10-12 persen.  Angka revisi rencana bank-bank terletak di luar kisaran yang diperkirakan OJK. Dalam revisi rencana bank-bank target pertumbuhan kredit lebih tinggi daripada Outlook OJK, sedangkan target pertumbuhan dana lebih rendah daripada Outlook OJK.

Ketiga, Bank Umum Konvensional (BUK) dalam revisinya menargetkan pertumbuhan kredit 11,84 persen, sedangkan Bank Umum Syariah menargetkan pertumbuhan 10,65 persen. Untuk target dana, BUK menargetkan pertumbuhan 7,44 persen, sedangkan BUS menargetkan 8,56 persen.  Tampaknya BUK lebih optimis di sisi kredit, sedangkan BUS lebih optimis di sisi dana.

Ada empat hal yang dapat menjelaskan koreksi turun revisi rencana bank-bank ini. Pertama, ada empat bank yang melakukan loan sales, namun jumlahnya signifikan. Per bulan Juni mencapai Rp 6,05 triliun, dan diperkirakan per Desember akan mencapai Rp 7,75 triliun.

Kedua, meningkatnya kredit yang dihapus buku. Per Juni mencapai Rp 26 triliun, dan diperkirakan meningkat menjadi Rp 34 triliun per Desember. Ketiga, pelunasan angsuran yang juga meningkat tajam.  Per Juni mencapai Rp 25 triliun, dan diperkirakan menjadi Rp 51 triliun.  Keempat, pelunasan dipercepat sebagai bagian dari biaya retrukturisasi nasabah.

Menghadapi ini semua, bank-bank menjaga kekuatan permodalannya yang tampak jelas dari rasio kecukupan modal mereka yang tinggi yaitu 21,80 persen.  Rasio kredit bermasalah juga terjaga pada 2,74 persen gross dan 1,41 persen neto. Indikator likuiditas yaitu rasio kredit terhadap dana hampir mendekati 100 persen yaitu 94,90 persen.

Oscar Jorda, Bjorn Richter, Moritz Schularick, Alan Taylor dalam penelitian mereka “Bank Capital Redux: Solvency, Liquidity, and Crisis” yang baru saja dipublikasi oleh Federal Reserve Bank of San Francisco menyimpulkan hal yang menarik dengan data dari 17 negara. Pertama, rasio kecukupan modal yang tinggi tidak dapat mencegah terjadinya krisis keuangan. Kedua, indikator solvency yaitu rasio kecukupan modal tidak dapat menjadi alat untuk memprediksi krisis. Ketiga, indikator likuiditas yaitu rasio kredit terhadap dana, dan porsi dana non-deposit merupakan indikator kerapuhan kekuatan keuangan. Keempat, rasio kecukupan modal yang tinggi memberikan manfaat besar dalam mendukung stabilitas makro ekonomi dan mempercepat pemulihan setelah terjadinya krisis keuangan.

Ann Rutledge, analis fixed income, dalam artikelnya “Will there Be A Financial Crisis in 2017?” yang dipublikasi Forbes, menarik untuk dicermati. Sejak berakhirnya Bretton Woods di era tahun 1970an selalu terjadi krisis di tahun ketujuh selama empat dekade ini yaitu tahun 1987, 1997, dan 2007.  Krisis tersebut selalu melibatkan Asia. Pada krisis tahun 1987 yang dikenal dengan “Black Monday” di  pasar modal AS, didahului dengan krisis pasar modal di Asia pada hari Minggu sebelumnya.  Pada saat itu pemicunya adalah perdagangan structured stock dan derivatives.

Krisis tahun 1997 yang dikenal sebagai “Asian Crisis” dipicu oleh perdagangan interest parity arbitrage.  Pelaku pasar meminjam mata uang yang murah dengan bunga rendah untuk diinvestasikan pada mata uang yang stabil dengan bunga tinggi, suatu teknik mencari laba yang disebut “positive carry”.

Krisis tahun 2007 yang dikenal dengan “Subprime Crisis” sebenarnya merupakan bentuk lain dari “positive carry”.  Bedanya di tahun 1997 instrumen yang digunakan adalah mata uang, sedangkan di tahun 2007 yang digunakan adalah “credit ratings”. Pelaku pasar membeli kredit dengan rating yang rendah, dikemas dalam bentuk sekuritisasi kemudian dijual dengan rating yang tinggi.  

Rasio kecukupan modal yang tinggi dan rasio kredit bermasalah yang rendah tidak dapat menjadi indikator yang tepat untuk memprediksi krisis. Yang lebih penting adalah mencari penyebab turunnya rasio kredit bermasalah. Bila turunnya kredit bermasalah disebabkan perekonomian yang membaik, maka ia menunjukkan perbaikan yang “genuine”. Namun bila turunnya kredit bermasalah tanpa adanya perbaikan perekonomian dan hanya disebabkan perubahan pencatatan ke restrukturisasi kredit, AYDA (aset yang diambil alih), hapus buku sebagai upaya penyelamatan kredit, maka ia malah menunjukkan indikasi ke arah krisis yang tertunda.

Andreas Jobst, Li Lian Ong, Christian Schmieder, ekonom IMF, dalam penelitian mereka “Macroprudential Liquidity Stress Testing” yang baru dipublikasikan juga memberikan hasil yang menarik. Pertama, perbankan terlalu fokus pada “solvency stress testing” dan mengabaikan “liquidity stress testing” padahal rasio likuiditas dapat menjadi indikator yang lebih baik dalam memprediksi krisis. Kedua, perbankan belum memiliki kemampuan yang cukup dalam mengidentifikasi, membuat model, mengukur dampak krisis likuiditas karena keterbatasan data dan memahami interaksi berbagai faktor pemicu.

Tobias Adrian, Michael Fleming, Or Chachar, Erik Vogt, dalam penelitian mereka “Market Liquidity after the Financial Crisis” yang baru saja dipublikasi oleh Federal Reserve Bank of New York memberikan semangat untuk membuat regulasi yang tegas walaupun dalam jangka pendek dapat menyebabkan stagnasi dalam pasar likuiditas.  Ketika terjadi krisis keuangan, otoritas cenderung akan memperketat regulasi.  Hal ini dapat menimbulkan keengganan pelaku pasar meramaikan pasar likuiditas, di samping pelaku pasar perlu menyesuaikan kemampuannya sesuai regulasi yang baru. 

Koordinasi dan kerangka kerja yang komprehensif integral dari para pemegang otoritas menjadi suatu keniscayaan.  Celah disharmoni regulasi sekecil apapun dapat mengurangi efektifitas suatu regulasi, bahkan dapat memicu terjadinya chaos keuangan. Kesepahaman dan kesepakatan pemegang otoritas menjadi kunci, namun perbedaan perspektif malah saling menguatkan argumen.

Ibarat ilmu fikih, kesepakatan (ijma’) d iantara ulama juga merupakan kunci. Di zaman Umar bin Khattab ra untuk mencapai ijma’ ini bahkan para sahabat ahli fiqih diminta untuk tetap menetap di Madinah untuk memastikan tercapainya kesepakatan utuh. Baru setelahnya, dengan semakin luasnya wilayah Islam, para sahabat ahli fiqih menetap di berbagai tempat yang berlainan. Ijma menjadi sulit dicapai.

Kesepakatan tetap diupayakan melalui ijtihad jama’i dengan mencari kesepakatan mayoritas ulama, yang dikenal dengan istilah pendapat jumhur ulama. Perbedaan pandangan bagi yang tidak sepakat dengan jumhur ulama, tidak serta merta salah, bahkan dapat sama benarnya dengan pendapat jumhur ulama.  Begitu pula perbedaan perspektif dalam ilmu ekonomi. It’s true, but not the whole truth, and for sure not the only truth.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement