REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee telah mengkritik pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi, karena gagal melindungi minoritas Muslim Rohingya. Yanghee Lee mengatakan, situasi di Rakhine benar-benar serius dan sudah saatnya Suu Kyi maju untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
"Pemimpin de facto perlu masuk, itulah yang kami harapkan dari pemerintah manapun, untuk melindungi semua orang di dalam yurisdiksinya sendiri," kata Yanghee Lee seperti dilansir bbc.com, Senin (4/9).
Komentar Yanghee Lee muncul saat jumlah orang Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh hampir mencapai 90 ribu. Angka ini lebih dari eksodus setelah kekerasan pada bulan Oktober 2016 di Rakhine. Selain itu, komentar yang ia sampaikan juga terkait serangan militan Rohingya di pos polisi yang memicu tindakan keras oleh militer Burma.
Yanghee Lee mengatakan, skala kehancuran kali ini, dibandingkan dengan bulan Oktober jauh lebih besar. Suu Kyi telah dikritik di masa lalu karena gagal menasihati militer yang memerintah Myanmar selama beberapa dekade dan mempertahankan 25 persen kursi parlemen.
"Suu Kyi terperangkap di antara batu dan tempat yang sulit, namun saya pikir sekarang saatnya dia keluar dari tempat itu sekarang," katanya.
Rohingya adalah minoritas Muslim tanpa kewarganegaraan yang menghadapi penganiayaan di Myanmar. Banyak dari mereka yang telah melarikan diri karena desa mereka diserang.
Gambar satelit menunjukkan banyak kebakaran di bagian utara negara bagian, dan Human Rights Watch telah merilis sebuah gambar yang menunjukkan bahwa lebih dari 700 rumah dihancurkan di satu desa Rohingya. Pihak militer mengatakan sedang memerangi sebuah kampanye melawan gerilyawan Rohingya yang menyerang warga sipil. Secara independen memverifikasi situasi di lapangan sangat sulit karena akses dibatasi.