REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menyalahkan gerilyawan Rohingya atas kesalahan informasi mengenai kekerasan di Myanmar barat yang memaksa lebih dari 120 ribu pengungsi Rohingya pergi ke Bangladesh. Suu Kyi saat ini berada di bawah tekanan untuk menghentikan operasi pemusnahan etnis Rohingya oleh pasukan keamanan Myanmar di Rakhine.
Sebuah pernyataan yang diposting oleh kantor Suu Kyi ke Facebook pada hari Rabu mengatakan, Suu Kyi telah berbicara dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengenai krisis Rohingya yang berulang kali disebut genosida. Suu Kyi mengatakan, pemerintah sudah mulai membela semua orang di Rakhine dengan cara terbaik dan menyatakan tidak boleh ada informasi yang salah yang bisa menimbulkan masalah di antara kedua negara.
Ia merujuk pada foto palsu yang diunggah di Twitter oleh Wakil Perdana Menteri Turki yang menunjukkan jenazah orang Rohingya di Myanmar. Namun sebenarnya jenazah orang Rohingya itu bukan di Myanmar tapi di tempat lain.
"Informasi palsu semacam itu yang ditunjukkan wakil perdana menteri hanyalah puncak gunung es kesalahan informasi untuk menciptakan banyak masalah di antara komunitas yang berbeda dan dengan tujuan untuk mempromosikan kepentingan para 'teroris'," kata pernyataan kantor Suu Kyi seperti dilansir Guardian, Rabu, (6/9).
Eksodus pengungsi baru dari Rakhine sejak 25 Agustus terjadi setelah gerilyawan Rohingya menyerang puluhan pos keamanan Myanmar. Pihak berwenang menanggapi serangan gerilyawan Rohingya dengan tindakan yang lebih keras dan kejam.
Pejabat PBB di Myanmar mengatakan, konflik terbaru tersebut telah membunuh hingga 1.000 orang. Gambar satelit menunjukkan bukti terjadi pembakaran desa-desa orang Rohingya. Pengungsi Rohingya di Bangladesh mengatakan, desa mereka dibakar secara massal oleh tentara Myanmar.
Badan-badan kemanusiaan PBB juga dilarang memberikan bantuan kemanusiaan kepada orang Rohingya. Wartawan dilarang masuk untuk memberitakan peristiwa mengerikan itu. Myanmar juga meletakkan ranjau darat di perbatasan dengan Bangladesh dalam beberapa hari ini. Ini menurut sumber pemerintah di Dhaka.
Sumber tersebut mengatakan, ranjau darat kemungkinan ditempatkan untuk mencegah pengungsi Rohingya kembali ke negara bagian Rakhine. Bangladesh akan mengajukan protes menentang penempatan ranjau darat di dekat perbatasannya. Namun sebuah sumber militer Myanmar mengatakan, ranjau darat berupa bahan peledak tersebut telah ada sejak tahun 1990-an.