REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Dirjen Pajak tengah menyusun aturan baru untuk memajaki kegiatan perdagangan elektronik atau e-commerce. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, aturan pajak untuk e-commerce baiknya tidak ambisius.
Ia berargumen, e-commerce adalah sektor ekononomi baru yang harus difasilitasi dan dijaga agar kelak dapat berkontribusi maksimal bagi negara. Karenanya, kebijakan perpajakan yang dibuat pemerintah diminta tidak menghambat pelaku usaha untuk berkembang.
"Aturan baru seyogianya tidak ambisius untuk mengejar potensi pajak dalam jangka pendek," ujarnya, lewat keterangan tertulis, Kamis (5/10).
Yustinus mengatakan, sebagaimana prinsip perpajakan yang bersandar pada asas kepastian (certainty) dan keadilan (equity), maka pajak e-commerce yang sedang dibahas saat ini harus dapat menciptakan kepastian (didasarkan pada aturan yang jelas dan adil) serta keadilan (membayar pajak sebagaimana perdagangan konvensional).
Yustinus mengusulkan agar pada tahap awal penerapan ini, pemerintah memfokuskan pada pendataan dan pendaftaran para pelaku usaha e-commerce agar menjadi wajib pajak melalui kantor perwakilan yang ada untuk pelaku luar negeri. Dalam hal ini, kewenangan berada pada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Saat registrasi itu, pelaku usaha sekaligus ditetapkan sebagai wajib pajak dan/atau pengusaha kena pajak sesuai kondisi.
Menurut Yustinus, memaksakan mereka menjadi Bentuk Usaha Tetap (BUT) tanpa mengubah Undang-Undang PPh sebaiknya tidak dilakukan demi menjaga kredibilitas Pemerintah. "Ini untuk menciptakan keadilan antara pelaku domestik dan yang berdomisili di luar negeri," kata dia.
Selain itu, Yustinus mengusulkan agar pemerintah membuat klasifikasi yang jelas terkait model bisnis dan skala bisnis yang ada. Sehingga, pelaku start up bisa mendapat perlakuan yang berbeda agar mereka dapat tetap tumbuh.