Perang kemerdekaan tak bisa lepas dari ikon ‘granggang’ (bambu runcing.). Senjata tradisional yang dibuat dari bambu yang ujungnya diruncingkan telah dikenal luas. Senjata ini sudah mulai dipakai dalam ketentaraan semenjak pendudukan Jepang. Dari beberapa foto tua tampak prajurit Peta berlatih menggunakan bambu runcing. Mereka memperlakukan bambu runcing layaknya senjata bayonet.
Dan bila pada 5 Oktober (hari ulang tahun TNI) maka soal bambu runcing harus juga dibahas. Bahkan, ketika nanti memperingati peristiwa penting lainnya, misalnya ketika Kolonel Sudirman (kemudian menjadi Panglima Besar Jendral Sudirman) berhasil mempecundangi pasukan Inggris di Ambarawa (dikenal dengan Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945), ternyata semangat heroisme pejuang saat itu juga terkait dengan soal bambu runcing.
Apalagi, meski belum banyak yang tahu, amalan dan doa dari Kiai Subkhi itulah yang dilakukan Jenderal Sudirman selama memimpin perang kemerdekaan, adalah hasil 'ngaji' beliau dengan KH Subkh, selaku ulama penyeru perlawanan dengan senjata bambu runcing dari Pesantren Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.
Bukan hanya itu, amalan agar Pak Dirman (sebutan akrab Jendral Sudirman) di dalam memimpin perang gerilya 'selalu dalam keadaan suci' atau menjaga wudhu, adalah salah satu 'petunjuk laku' dari Kiai Subkhi. Nasihat Pak Dirman,"Bagaimana kamu bisa berjuang melawan penjajah bila dirimu tidak dalam keadaan suci lahir dan batin' itu merupakan intisari dari ajaran Kiai Subkhi yang leluhurnya adalah berasal dari Pesantren Mlangi, Yogyakarta, yang merupakan kekuatan inti Pasukan Diponegoro. Tak heran bila kemudian ada sebutan bahwa salah satu guru spiritual Jendral Sudirman adalah KH Subkhi tersebut. (Keterangan gambar di atas: Jendral Sudirman singgah di Stasiun Manggarai, 11 November 1946).
Maka ketika memperingati hari ulang tahun TNI dan juga hadirnya fakta sejarah perjuangan rakyat dengan bermodal senjata tradisionilnya bambu runcing, pada sisi lain memang mau tidak mau juga tak bisa terlepas dari kenangan atas jasa para pejuang lasykar bersenjata umat Islam dan sikap teguh para ulama yang terus memompa semangat rakyat untuk melakukan jihad melawan kekuatan tentara kolonial. Salah satu tokohnya ya Kiai Subkhi ini.
Posisi dan letak pesantren ini yang berada di 'kota sejuk’ Temanggung dan tak jauh dari salah satu markas utama tentara Belanda yang berada di Ambarawa, memang menjadi tempat strategis untuk menggerakan perlawanan bersenjata. Kekuatan ini menjadi berlipat dengan semburan semangat dan doa dari Kiai Subkhi yang menyerukan perlawanan melawan penjajah Belanda merupakan ajang jihad sebagai bukti kecintaan terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
Saat itu, kaum muslim, khususnya para pejuang, sangat percaya akan tuah dari bambu runcing bila sudah didoakan oleh Kiai Subkhi. Bahkan saking terkenalnya, masa rakyat beramai-ramai mendatangi pesantrennya. Angkutan kereta api (kini rutenya sudah dimatikan) yang menuju kawasan Temanggung kala itu selalu penuh disesaki penumpang yang membawa sebatang bambu dengan panjang dua meter yang ujungnya diruncingkan itu. Mereka datang untuk meminta ‘karomah’ atau doa dari kiai tersebut.