Senin 09 Oct 2017 09:27 WIB

Fintech yang Kian Melejit

Rep: Nora Azizah/ Red: Elba Damhuri
Lembaga pembiayaan Amartha ditetapkan sebagai pemenang kompetisi Sankalp Southeast Asia Award 2017.
Foto: amartha
Lembaga pembiayaan Amartha ditetapkan sebagai pemenang kompetisi Sankalp Southeast Asia Award 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini tak ada industri yang bebas disrupsi. Sejak hadirnya financial technology (fintech), perbankan akan mengalami goncangan besar.

International Data Center (IDC) baru saja merilis perkembangan industri fintech dalam negeri dengan presentasi pertumbuhan yang kian pesat. Dalam acara IDC Fintech Innovation Summit 2017, IDC mencatat 10 perusahaan fintech lokal dengan perkembangan pesat, di antanya adalah Go-Jek dan Amartha.

Di dalam daftar IDC Financial Insights, 10 perusahaan fintech asal Indonesia tersebut masuk ke dalam bagian dari daftar IDC Fintech Fast 101 yang lebih luas untuk wilayah Asia Pasifik. Daftar ini diterbitkan berdasarkan kelanjutan seri laporan fintech IDC Financial Insights untuk membantu kelompok investasi, lembaga keuangan, dan pemain teknologi dalam memahami lanskap fintech.

Daftar fintech ini juga membuat referensi dengan kerangka Triple U yang mengacu pada ubiquity atau penyebaran, utility atau utilitas, serta usability atau kegunanaan. "Kami melihat banyak kolaborasi antara perusahaan fintech dan institusi perbankan, hal tersebut yang berpengaruh dalam pengembangan produk serta pasar," ujar Associate Vice President IDC Financial Insights Michael Araneta dalam acara Fintech Innovation Summit 2017 di Jakarta, pekan lalu.

Dengan kolaborasi tersebut, para pelaku fintech mampu mengembangkan produk dan memperluas pasar, kemudian mendorong pula kemitraan dan aliansi. Tujuh dari 10 fintech yang teridentifikasi tersebut merupakan produk dalam bentuk pembayaran dan ruang pinjaman.

IDC memperkirakan, para pemain fintech dalam pembayaran akan ikut makin memperluas pasar m-commerce. Hal tersebut sudah dibuktikan Go-Jek dengan layanan Go-Pay.

Tidak berdampak besar

Fintech memang terbilang sebagai teknologi yang disruptif, tetapi ternyata tidak berdampak cukup hebat. Bahkan, di Indonesia fintech termasuk pembuat produk yang belum ada sebelumnya sehingga tidak cukup kuat dalam "memakan" bisnis lain.

Fintech di Indonesia memberikan produk yang ditawarkan belum ada sebelumnya, tidak seperti di negara lain. Fintech dalam negeri sudah memiliki pelanggan dan ukuran yang signifikan dalam hal memperoleh pelanggan.

Itu sebabnya IDC menyarankan para pelaku usaha rintisan fintech untuk terus melakukan perluasan regional. IDC meramalkan, tahun depan akan menjadi pintu besar bagi para pemain fintech Asia Pasifik dalam melakukan perluasan pasar, seperti Alipay yang dimiliki Alibaba Group.

Co-Founder Asosiasi Fintech Indonesia Izak Jenie mengatakan, saat ini industri fintech yang tengah naik daun di Indonesia masuk dalam kategori peer-to-peer lending atau fintech lending. Tak hanya itu, beberapa perusahaan juga sudah mulai mengembangkan bitcoin exchange atau alternatif currency. "Payment juga sudah banyak tapi masih belum membuat produk," kata Izak.

Mereka, lanjut dia, sudah memiliki lisensi tetapi belum mempunyai produk. Kendala para pemain tersebut belum membuat produk juga terkait dengan regulasi. Regulasi tersebut mengacu pada regulasi Bank Indonesia (BI) untuk memegang kendali.

Contohnya, perusahaan memiliki 1 juta anggota dengan dompet virtual masing-masing anggota berisi Rp 1 juta. Apabila dijumlah maka akan ada sekitar Rp 1 triliun.

Kemudian, bila perusahaan tersebut bangkrut atau tidak beroperasi maka akan ada sekitar Rp 1 triliun uang anggota yang tidak bisa dikembalikan. Sebab, pihak BI hanya menjamin sekitar Rp 2 miliar.

Itu sebabnya BI memiliki regulasi untuk menjaga dua hal terpenting, yakni perlindungan konsumen dan stabilitas keuangan. Hal tersebut menjadi salah satu kendala perusahaan untuk membuat produk.

Pemerintah memang wajib dan harus mengatur hal tersebut untuk menjaga konsumen dan stabilitas keuangan. Meski demikian, Asosiasi Fintech Indonesia menilai peraturan yang ada saat ini masih belum cukup.

Alternatif currency, seperti bitcoin, juga memerlukan aturan agar pengguna tidak merasa rugi. "Peraturannya harus terus berkembang karena fintech terus bergerak," kata Izak.

Tak hanya di Indonesia, di semua negara fintech juga terus berkembang. Namun, pihak asosiasi tidak mendorong atau duduk bersama dengan regulator dalam membuat regulasi. Meski demikian, BI dan OJK sudah memberikan dukungan cukup tinggi bagi industri fintech di dalam negeri.

Sepuluh pemain fintech dalam IDC Fintech Fast 101:

1. Amartha

2. Bareksa.com

3. CekAja.com

4. Doku

5. Finansialku.com

6. Go-Pay

7. Midtrans

8. Modalku

9. TCash

10. Uang Teman

(Tulisan diolah oleh Setyanavidita Livikacansera)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement