REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semasa hidupnya, almarhum KH Noer Ali dikenal sangat dekat dengan pejuang seperti Mohammad Natsir yang mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Bung Tomo, dan juga ulama Be tawi yang mengajarinya berbagai ilmu agama.
Kisah kehidupan sang kiai sangat panjang dan penuh dengan api perjuang an. Sang pahlawan nasional itu ada lah pahlawan yang ikut mengangkat sen jata untuk mencerai-beraikan pasukan penjajah yang telah menginjakinjak harkat dan martabat bangsa ini.
Agar tidak hilang AM Fatwa yang pernah menjadi murid KH Noer Ali tak ingin kisah gurunya hilang. Perjuangan hidup sang kiai dan perjalanan dakwahnya harus terus dibaca, sehingga menjadi pelajaran masyarakat dari berbagai zaman. Meski kehidupan KH Noer Ali sudah tuntas, tapi kisah perjalanan hidupnya harus selalu dipelajari dan menjadi ibrah masyarakat dari waktu ke waktu.
Fatwa menyadari hal itu saat menghadiri seminar 'Menelusuri Jejak Pemikiran Pahlawan Nasional KH Noer Ali' di Jakarta pada akhir 2015. Sang penulis menilai berbagai makalah yang dipresentasikan dalam acara itu mengandung gagasan orisinil yang menggambarkan perjuangan KH Noer Ali yang penuh dengan lika-liku.
Sangat tidak mudah hidup dalam masa penjajahan. Kebebasan untuk berserikat dan menempuh pendidikan sangat terbatas. Hanya orang tertentu yang dapat menjangkau hal itu. Namun sang kiai mampu mengajak masyarakat sekitar untuk bermusyawarah, berkumpul, untuk menghimpun kekuatan massa yang menolak penjajahan.
Ketua Yayasan Attaqwa KH Mohammad Amien Noer menjelaskan perjuangan ayahandanya terus dilanjutkan oleh generasi penerus. Dia selalu mengingat empat kunci sukses meniti hidup, yaitu zikir, pikir, amal, dan ikhlas. Semua itu diwasiatkan kepada seluruh umat Islam. Tidak boleh hanya menjadi simbol. Semua itu harus menjadi pengetahuan yang diamalkan, tulis dia dalam pengantar buku tersebut.
Ini bukan buku pertama yang mengangkat kisah hidup sang alim. Sebe lumnya sudah ada buku yang mengulas hal sama yang diterbitkan pada era 1990- an. Tulisan AM Fatwa tersebut memperkuat kisah perjuangan gurunya yang lebih dari 10 tahun tak lagi ditulis kembali, dan hampir hilang dari peredaran literasi Indonesia.