REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Raharjo membantah adanya statement Indonesia dalam status darurat korupsi. Hal tersebut, kata dia, bisa terlihat dari indeks persepsi korupsi Indonesia yang terus merangkak naik.
Agus menjelaskan, di awal pembentukan KPK, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada di angka 17 dari penilaian tertinggi 100. Saat itu, Filiphina dan thailand masih jauh lebih tinggi dari Indonesia, yakni di angka 36 dan 32.
"Hari ini (Indonesia) sudah di angka 37, jadi di Asean cuma ada duanegara yang ada di atas kita," ujar dia saat rapat gabungan dengan Polri, Jaksa Agung dan Komisi III di Gedung Nusantara II, Senin (16/10).
Oleh karena itu, Agus menyatakan, selama 15 tahun KPK dibentuk, berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi tersebut pemberantasan korupsi Indonesia tidak jalan ditempat. Justru, kata dia, memiliki kemajuan yang baik. "Mari kita lihat bahwa pemberantaan ini tidak jalan ditempat, tetapi tetap progress," kata dia.
Data yang dikantongi KPK, tindak pidana korupsi di Indonesia terbesar disubang oleh tindakan suap menyuap. Selain itu, Agus juga menjelaskan adanya permainan oknum pemerintahan terkait pengadaan barang dan jasa.
Sebelumnya, Anggota Komisi III, Nasir Jamil juga meragukan adanya situasi urgen dalam pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi. Menurut Politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut, pembentukan itu harus dicermati dan dikaji lebih mendalam.
Pasalnya, dengan dibentuknya Densus Tipikor, maka akan berimbas pada penambahan ESDM dan anggaran untuk Densus tersebut. Oleh sebab itu, kata dia, kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) harus mengkaji lebih rinci terkait pembentukan Densus tersebut.
"Saya pikir MenPAN harus segera meberikan pernyataannya dan harus dijelaskan urgensinya," jelas dia.
Sebelumnya, Polri sudah memberikan perencanaan anggaran untuk pembentukan Densus Tipikor. Densus Tipikor diperkirakan akan memakan anggaran sebesar Rp 2,64 Triliun.