REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Bireun, Aceh, Athaillah A Latif menjelaskan momen-momen proses pembangunan Masjid At-Taqwa sampai akhirnya dibakar beberapa waktu lalu.
Menurutnya, pembangunan masjid telah berlangsung sejak 2015. Saat itu, Pimpinan Cabang (PC) Muhammadiyah Kecamatan Samalanga memiliki gagasan mendirikan masjid sebagai pusat dakwah serta berbagai kegiatan Muhammadiyah lainnya dengan memilih lokasi di Desa Sangso.
Selanjutnya, Pengurus PC Muhammadiyah Samalanga mulai membebaskan tanah di desa itu dengan cara wakaf tunai jemaah Muhammadiyah. Namun, sesuai isu yang berembus di Samalanga saat itu, banyak yang menuduh bahwa dana pembangunan masjid berasal dari luar negeri untuk kegiatan dakwah wahabi.
"Dalam kesempatan ini kami sekaligus ingin menepis isu itu, karena pembangunan masjid itu berasal dari wakaf tunai jemaah Muhammadiyah," kata dia, Senin (23/10).
Selanjutnya, setelah pembebasan tanah tuntas, panitia pembangunan menghadapi kendala perizinan, mengingat saat itu yang berlaku adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006.
Persyaratan perizinan yang harus dipenuhi mulai dari dukungan masyarakat yang disahkan lurah/kepala desa, hingga rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama.
"Begitu kami meminta izin Kepala Desa Sangso tidak mengizinkan dengan alasan di Samalanga mayoritas masyarakatnya adalah kaum aswaja, sehingga dikhawatirkan bisa menyebabkan perpecahan," kata dia.
Hingga akhirnya pada 2016 diberlakukan Qonun Aceh Nomor 4 tentang pembangunan rumah ibadah. Dengan aturan khusus itu, maka pendirian masjid di Aceh tidak lagi membutuhkan rekomendasi seperti yang berlaku pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Izin pendirian bangunan (IMB) Masjid At-Taqwa akhirnya keluar pada 13 Juni 2017 hingga akhirnya panitia mulai melakukan penentuan arah kiblat. Saat itu sama sekali tidak ada pertentangan dari masyarakat. Pertentangan baru muncul ketika panitia hendak membuat acara peletakan batu pertama. Masyarakat setempat meminta acara itu dibatalkan dan menuntut tidak ada pembangunan.
"Lalu, kami cooling down dan kami tunggu sampai 1,5 bulan, namun tidak ada langkah mendamaikan. Akhirnya, kami kembali melanjutkan pembangunan, setelah selesai membangun satu tiang masjid malam harinya dibakar," kata dia lagi.