Ahad 12 Nov 2017 14:58 WIB

Papua Nugini Jamin tak Gunakan Kekerasan pada Pengungsi

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, PULAU MANUS -- Komandan polisi di Pulau Manus David Yapu mengatakan pihaknya tidak akan menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan orang-orang dari pusat penahanan pengungsi yang telah ditutup. Ia juga menambahkan "semuanya berjalan lancar".

Sekitar 90 orang pencari suaka telah meninggalkan pusat penahanan pada hari Jumat (10/11) lalu. Komandan polisi di Pulau Manus, David Yapu mengatakan masih ada sekitar 400 orang yang tersisa di dalamnya dan telah bersumpah untuk tetap tinggal. Dua orang pencari suaka asal Pakistan mengatakan kepada ABC bahwa mereka saat ini hanya memiliki waktu sampai Senin (13/11) untuk pergi dan berharap tidak akan ada penggunaan kekerasan sampai batas waktu tersebut.

Departemen Imigrasi belum mengkonfirmasi berapa lama tenggat waktu tambahan itu akan berlaku, namun aksi penolakan para pengungsi untuk pergi dari fasilitas itu tampaknya akan berlanjut.

Sepanjang Jum’at malam (10/11), pihak berwenang Papua Nugini mulai membongkar tempat penampungan sementara di pusat penahanan Pulau Manus. Sementara para pengungsi yang bertahan disana dilaporkan mulai menggali lebih banyak sumur di dalam fasilitas itu untuk menyediakan sumber air minum lainnya.

Otoritas kepolisian setempat mengatakan sekitar 200 orang telah meninggalkan pusat penahanan tersebut dalam dua hari terakhir. Ini terjadi setelah pihak berwenang Papua Nugini mengeluarkan pemberitahuan yang menginstruksikan mereka yang bertahan untuk segera pergi karena "kondisi tidak higienis".

Meskipun ada peringatan tersebut, beberapa pencari suaka mengatakan di media sosial bahwa mereka masih tidak akan meninggalkan lokasi tersebut seiring dengan polisi Papua Nugini mulai menghancurkan tempat sampah yang digunakan orang untuk menyimpan air.

"Mereka menghancurkan tempat penampungan kami," kata Behrouz Boochani, seorang wartawan Kurdi dari Iran yang telah ditahan lebih dari empat tahun,

"Mereka menghancurkan tempat sampah dimana kita juga sudah mengumpulkan air."

PBB menyerukan 'tenang dan menahan diri'

Nai Jit Lam, dari badan pengungsi UNHCR mengatakan penarikan layanan yang penting telah menciptakan lingkungan yang  berisiko tinggi bagi semua pihak yang terlibat.

"Tidak ada juru bahasa di Manus sekarang, jadi fakta sederhana saja dari sebuah komunikasi - entah itu dengan orang atau polisi setempat ... ada kekhawatiran ada risiko kesalahpahaman yang tinggi," katanya.

 
"Dari hasil pengamatan kami sejauh ini, layanan yang telah ditarik dari pusat pemrosesan regional belum diganti secara memadai di luar pusat itu sendiri – ini menjadi keprihatinan serius bagi kami.

"Ada peningkatan risiko karena cara ini telah diatur."

Dalam sebuah pernyataan sebelumnya, UNHCR mendesak pihak berwenang di Papua Nugini untuk menunjukkan sikap "tenang dan menahan diri " menjelang batas waktu Sabtu (4/11) lalu.

UNHCR mengatakan pergerakan pencari suaka yang dipaksakan tidak tepat dan situasi di pusat penahanan memerlukan "de-eskalasi yang cepat".

Volker Turk, asisten komisaris tinggi untuk perlindungan di UNHCR, meminta kedua pemerintah untuk menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan, dengan mempertimbangkan orang-orang yang telah berada di pusat pemrosesan selama bertahun-tahun.

"Orang-orang ini berada dalam keadaan yang sangat rentan dengan tidak banyak harapan yang terlihat," katanya.

"Kami telah mengunjungi Pulau Manus beberapa kali selama beberapa tahun terakhir, kami telah melaporkan kondisi yang sangat mengerikan di pusat-pusat ini. Sekarang benar-benar saatnya untuk mengakhiri penderitaan manusia yang tidak terhitung banyaknya ini."

Rekaman yang dirilis minggu ini oleh kelompok aktivis GetUp menunjukkan kondisi kotor di dalam kamp, di mana ratusan orang telah hidup tanpa pasokan listrik, air atau makanan.

Sementara di Sydney, sekitar 200 massa pengunjuk rasa telah menargetkan aksi mereka pada event penggalangan dana Partai Liberal, mereka melontarkan seruan protes kepada para tamu yang datang di acara itu dan menuntut agar pengungsi yang tersisa di Pulau Manus diizinkan untuk menetap di Australia.

Kakak perempuan mantan Perdana Menteri Tony Abbott, yang juga Dewan Penasihat Kota Sydney, Christine Forster, sempat sobek jaketnya saat berusaha menerobos barisan massa pengunjuk rasa untuk menghadiri acara tersebut.

pengunjuk rasa di Sydney
Sekitar 200 orang pengunjuk rasa melangsungkan aksi mereka di acara Penggalangan dana Partai Liberal di Sydney. Mereka meneriakan tuntuan mereka kepada para tamu yang datang di acara itu dan menuntut para pengungsi di Pulau Manus dimukimkan di Australia.

ABC News

Chirstine Forster harus dibantu menerobos kerumunan massa pengunjuk rasa oleh polisi, yang membentuk rantai manusia untuk melindungi tamu dari beberapa ratus pemrotes.

Dia mengatakan orang-orang telah mencoba untuk "memukul" dia, dan menggambarkan situasinya sebagai "mengejutkan" dan "menakutkan".

"Ini adalah situasi yang sangat tidak menyenangkan, tidak perlu, berbahaya yang dihadirkan untuk semua orang,” katanya.

Menteri Imigrasi Peter Dutton dan Tony Abbott menghadiri acara tersebut.

Di Melbourne, lebih dari 1.000 orang mengadakan demonstrasi serupa.

Christine Forster
Saudara mantan PM Tony Abbot yang juga dewan pemerintah Kota Sydney, Christine Forster, sempat robek jaketnya saat berusaha menerobos massa pengunjuk rasa untuk menghadiri acara penggalangan dana Partai Liberal (11/11/2017).

ABC News

Reuters/ABC

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement