REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengungkapkan, KPK telah menerima surat ketidakhadiran Ketua DPR RI Setya Novanto untuk panggilan perdana pemeriksaan sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-el) pada Rabu (15/11). "Pagi ini surat dari pengacara SN kami terima di bagian persuratan KPK. Yang bersangkutan tidak dapat hadir hari ini," kata Febri saat dikonfirmasi, Rabu (15/11).
Febri melanjutkan, surat ketidakhadiran yang ditandantangani oleh kuasa hukum Ketum Partai Golkar itu terdiri dari tujuh halaman, berisi poin-poin alasan tak dapat memenuhi panggilan pemeriksaan. Salah satu alasannya adalah masih menunggu Judical Review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Febri, alasan kuasa hukum yang menunggu uji materi di MK, tidak sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24/2003 tentang MK. "Dalam proses hukum, acuan yang digunakan adalah KUHAP, UU Tipikor dan UU KPK. Jadi sekalipun ada bagian dari UU tersebut yang diuji di MK, hal tersebut tidak akan menghentikan proses hukum yang berjalan. Apalagi, ada penegasan di Pasal 58 UU MK. Sehingga dalam penanganan kasus KTP elektronik ini, kami akan berjalan terus," terang Febri.
Sementara kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi mengatakan, Novanto tidak akan pernah memenuhi panggilan penyidik KPK selama MK belum merampungkan uji materi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. "Hukum adalah panglima di Republik Indonesia. Marilah semua pihak menghormati hukum," tegas Fredrich.
Bahkan, sambung Fredrich, tidak ada yang bisa melawan hak imunitas kliennya selaku pimpinan legislatif sekalipun itu Presiden. Menurutnya, hal tersebut tercantum dalam UUD 1945. "Dalam UUD 45 tiada seorang pun bisa melawan termasuk presiden. Kalau Sekarang KPK melawan, berati dia melakukan kudeta," ujarnya.
Pada Jumat (10/11) KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Penetapan tersangka terhadap Ketum Golkar tersebut pun sudah melalui beberapa tahapan setelah KPK mempelajari putusan praperadilan dari Hakim Tunggal Ceppy Iskandar.
KPK menduga Novanto pada saat proyek KTP-el bergulir Novanto yang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Atas perbuatannya, Novanto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.