REPUBLIKA.CO.ID, Muhammadiyah memperingati usia 105 tahun sejak pertama kali didirikan KH Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada 18 November 1912. Dalam momentum ini, Muhammadiyah ingin merekatkan kembali relasi kebangsaan, sembari melakukan usaha-usaha peningkatan untuk memperluas jaringan yang ada.
"Merekatkan relasi kebangsaan dalam format keindonesiaan yang majemuk, tapi dibangun kekuatan agama, khususnya Islam, yang selain eksis punya peran besar dalam sejarah dan kebangsaan Indonesia," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, kepada Republika, beberapa waktu yang lalu.
Dalam konteks kekinian, Muhammadiyah melihat di dalam kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk terdapat kecenderungan sebagian masyarakat mengalami disorientasi, sehingga terjadi retak pandangan. Hal itu mempengaruhi hubungan-hubungan sosial keumatan dan kebangsaan, yang dalam situasi seperti ini dirasa perlu reorientasi.
Ia melihat, tantangan kehidupan bangsa Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar baik dari global, regional sampai dinamika sosial. Dalam pengaruh itu, jika tidak pandai-pandai, masyarakat akan mengalami retak sesama bangsa, dan didasari itu Muhammadiyah mengajak seluruh komponen merekatkan kembali tenun kebangsaan.
Demi mewujudkan relasi kebersamaan, Muhammadiyah sebagai bagian bangsa dan ikut mendirikan republik ini, komitmen kebangsaan sudah inheren di dalam gerakannya. Karena Muhammadiyah gerakan Islam, komitmen keislaman Muhammadiyah manyatu dalam komitmen kebangsaan, dan komitmen kebangsaan menyatu dalam komitmen keislaman.
"Dengan spirit keislaman dan keindonesiaan yang bersenyawa secara utuh itu, Muhammadiyah ingin memperdalam dan memperluas area rajutan kebersamaan dari tubuh bangsa ini," ujar Haedar.
Haedar menuturkan, komitmen itu dapat dilakukan pertama dengan membangun kembali alam pikiran di tubuh bangsa, kalau Indonesia akan tetap eksis dan punya masa depan yang maju. Hal itu dikatakan hanya dapat terwujud kalau seluruh komponen bangsa tetap berada di dalam kebersamaan.
Itu yang menjadi dasar langkah Muhammadiyah agar seluruh komponen bangsa, dengan keragaman agama, suku, golongan dan kedaerahan, tetap punya alam pikiran sebagai satu kesatuan keindonesiaan. Kedua, lanjut Haedar, komitmen itu akan diwujudkan dalam membangunan jalinan dan jaringan kebersamaan dari seluruh komponen bangsa.
Tujuannya, agar semakin meningkatkan komunikasi dan silaturahim seluruh komponen bangsa, sehingga tidak sering terjadi miskomunikasi, misinterpretasi, dan mungkin mispersepsi dalam berbagai persoalan kehidupan kebangsaan. Ketiga, Muhammadiyah senantiasa mengingatkan kalau komponen bangsa yang ada itu kekuatan integratif.
Artinya, Muhammadiyah memiliki modal sejarah dan sosial kemasyarakatan, untuk tetap menjadi kekuatan perekat dalam kehidupan kebangsaan. Apalagi, amal-amal usaha dan institusi Muhammadiyah meluas dalam kehidupan kebangsaan, mulai lembaga pendidikan, kesehatan, organisasi otonom dan pranata-pranata sosial masyarakat.
"Kekuatan kohesif seperti bagaimana amal usaha Muhammadiyah di Indonesia timur, termasuk Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT), jadi kekuatan pemersatu," kata Haedar.
Selain Suku Manggarai di Nusa Tenggara Timur dan Suku Kokoda di Papua Barat, Muhammadiyah memberikan pembinaan ke Sambalung di Nusa Tenggara Barat, Berau di Kalimantan Timur dan Sebatik di Kalimantan Utara. Hal itu sekaligus menguatkan panji-panji Muhammadiyah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Mengabdikan diri kepada bangsa dan negara, Muhammadiyah mencerdaskan masyarakat Indonesia timur melalui aspek-aspek pendidikan, budaya, agama dan meningkatkan rasa kebersamaan sesama bangsa. Mereka yang kerap dijadikan anak tiri, dibina memahami hak dan kewajibannya sebagai pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Memainkan Peran Moderasi
Dalam konteks ini, Muhammadiyah ditekankan untuk memerankan diri sebagai kekuatan moderasi yakni menjadi fasilitator, sekaligus mediator saat komponen tubuh bangsa memiliki retak perbedaan. Tapi, harus selalu diingat jika tak ada bangsa majemuk yang tanpa gesekan, dan hanya utopia membayangkan bangsa besar tanpa gesekan.
Untuk itu, tidak perlu ditampilkan adanya gesekan, saling silang kepentingan, dan Muhammadiyah akan memainkan peran memoderasi dan mediasi. Tidak lain, tujuanya agar perbedaan dan silang kepentingan tetap di koridor hukum, koridor aturan main dan koridor kebudayaan sebagaimana masyarakat majemuk yaitu Bhineka Tunggal Ika.
"Dalam konteks ini, fungsi mediator dan moderasi itu akan kita jalankan dengan tulus tanpa kepentingan dan tidak terjebak polarisasi kanan atau kiri, apalagi kepentingan politik yang sering membuat kita berada dalam konflik kepentingan," ujar Haedar.
Ia meyakini, Muhammadiyah bisa merangkul, mengomunikasikan dan menyinergikan dengan siapa saja, terbebas dari kepentingan sempit. Fungsi ini akan ditegaskan akan terus dimainkan dengan harapan diikuti seluruh elemen bangsa, karena hanya dengan itu Indonesia akan selalu bisa menemukan resolusi konflik.
Karenanya, harus senantiasa diingat pula jika terlibat kepentingan, lebih-lebih dalam ekstrim posisi, baik terlalu ke kanan maupun terlalu ke kiri, orang tidak akan bisa saling berbagi, berkomunikasi, apalagi peduli terhadap masalah-masalah yang tengah dihadapi bangsa.
Kuncinya, lanjut Haedar, tidak lain membangun pola pikir, paradigma dan format karakter bangsa Indonesia yang bersifat moderat dan berkemajuan. Sebab, karakter moderat dapat membuat kita bisa hidup bersama di dalam keragaman secara damai, toleran, serta saling asah, asih dan asuh.
Artinya, ketika terlibat konflik kepentingan dan perbedaan, semangat moderatlah yang secara sejati akan ditampilkan. Tapi, tentu moderat itu harus betul-betul berasal dari sikap yang tulus, jernih dan tanggungjawab besar, sehingga tidak mengaku moderat tapi banyak kepentingan apalagi ekstrim.
Haedar melihat, jika moderat itu eksklusif, banyak kepentingan diri sendiri dan selalu ekstrim, muncul tentu bukanlah moderat sejati. Karenanya, ia berharap semua komponen bangsa sesuai budayanya, baik yang bermuara kepada agama, lebih-lebih Islam, atau kepada budaya Indonesia yang gotong royong atau tenggang rasa.
Tapi, ia mengingatkan, menghadapi globalisasi dan modernisasi awal abad 21 tidak cukup sikap moderat semata, dan perlu karakter berkemajuan untuk menjadi bangsa yang unggul. Dengan kata lain, perlu masyarakat yang cerdas, obyektif, rasional, berorientasi ke depan, etos kerja tinggi, mandiri dan berdaya saing.
"Dengan sifat seperti ini, umat Islam maupun bangsa ini akan bisa berfastabikul khairat dengan bangsa lain, dengan sikap moderat yang genuine berkemajuan itu, saya yakin Indonesia ke depan akan punya masa depan yang maju," kata Haedar.
Ia menekankan, bangsa Indonesia jangan sampai jadi penonton, apalagi obyek penderita dari proses globalisasi dan modernisasi, hanya karena lemah karakter dan tidak memiliki potensi unggul. Maka itu, di tengah spirit merekat kebersamaan itu Muhammadiyah ingin menjadikan Indonesia sebagai masyarakat moderat berkemajuan.