REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri luar negeri Yordania Ayman Safadi memperingatkan Amerika Serikat (AS)mengenai konsekuensi berbahaya jika mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Safadi mengaku telah memberi tahu Menlu AS Rex Tillerson bahwa deklarasi besar itu dapat memicu kemarahan besar dari dunia Arab dan Muslim.
"Keputusan semacam itu akan memicu kemarahan di dunia Arab, menjadi bahan bakar ketegangan dan membahayakan usahaperdamaian," kata Safadi di Twitter seperti dikutip BBC, Senin (4/12).
Tidak ada tanggapan langsung dari Departemen Luar Negeri AS. Spekulasi Presiden AS Donald Trump akan memenuhi janji kampanyenya untuk mengakui Yerusalem milik Israel itu semakin menguat. Namun menantu Trump, Jared Kushner,mengatakan tidak ada keputusan yang dibuat.
Selama kampanye pemilihannya, Trump berjanji akan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Sementara Presiden Palestina Mahmoud Abbas sedang menggalang dukungan internasional untuk meyakinkan Trump agar tidak membuat pengumumanseperti itu.
Otoritas Palestina mengungkapkan bahwa Abbas menelepon para pemimpin dunia pada Ahad (3/12), termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
"Dia ingin menjelaskan bahaya dari keputusan apapun untuk memindahkan kedutaan AS ke Yerusalematau menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata penasihat Abbas, Majdial-Khalidi.
Sebelumnya para pemimpin Palestina telah memperingatkan langkah tersebut akan mengancam solusi dua negara. Israel telah menduduki Yerusalem Timur sejak perang TimurTengah pada 1967.
Israel mencaplok area tersebut pada 1980. Di bawah hukum internasional, daerah ni dianggap sebagai wilayah yang diduduki. Israel juga menetapkan bahwa Yerusalem adalah ibu kota abadi dan tak dapat dibagi. Tapi Palestina ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara di masa depan.