REPUBLIKA.CO.ID, Status diplomatik Yerusalem, atau Al-Quds dalam bahasa Arab, adalah salah satu isu paling kompleks dan sensitif di dunia. Bahakan, analis politik Turki Sinem Cengiz menyebut, Yerusalem dianggap suci oleh umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Sehingga, ia meyakini, setiap perubahan status kota itu, berisiko menimbulkan dampak luas di Timur Tengah.
"Status Yerusalem adalah isu utama dalam konflik Israel-Palestina, dengan kedua belah pihak mengklaim kota itu sebagai ibukota mereka," kata Cengiz dilansir dari Arab News, Sabtu (9/12).
Dia menjabarakan, berdasarkan kesepakatan damai Israel-Palestina 1993, status akhir kota tersebut ditindaklanjuti dengan membahas perundingan damai. Namun, pada Rabu (6/12) waktu setempat, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Pun pengakuan itu segera ditindaklanjuti dengan memindahkan Kedutaan Besar AS di Tel Aviv ke Yerusalem. Dia meyakini, langkah itu meningkatkan ketegangan dan menyebabkan kekerasan lebih buruk di Timur Tengah.
Cengiz mengatakan, kritik keras dilontarkan Presiden Turki Tayyip Erdogan yang menyebut Yerusalem sebagai "garis merah bagi umat Islam." Menurut dia, Erdogan menilai keputusan Trump sama saja melemparkan Yerusalem ke dalam lingkaran api.
Cengiz mengapresiasi langkah Erdogan melakukan pembicaraan dengan beberapa pemimpin Arab dan Muslim, termasuk Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan kepala negara Malaysia, Tunisia, Iran, Qatar, Arab Saudi, Pakistan, dan Indonesia. Dia menyebut, pembicaraan antara pemimpin negara itu menyepakati agenda pertemuan darurat di Istanbul pada 13 Desember membahas situasi tersebut.
Menurut dia, ibukota Turki, Ankara percaya Yerusalem Timur harus jadi ibukota Palestina sebagai solusi dua negara berkonflik itu. Pun selama ini, dia menyebut, Turki menentang keras tindakan Israel yang mengklaim Yerusalem miliknya.
Cengiz mengatakan, semua partai politik di Turki memiliki pandangan sama terhadap Al-Quds. Keempat partai di Parlemen Turki menandatangani sebuah pernyataan bersama pada Rabu malam. Pernyataan itu tegas menolak keputusan Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Cengiz berujar, langkah protes juga dilakukan masyarakat Turki di luar kantor Konsulat Amerika di Istanbul dan Kedutaan Besar Amerika di Ankara. Pun pemerintah Turki mengancam memutuskan semua hubungan dengan Israel.
Dikatakan Cengiz, pada 23 Juli 1980, Israel mengumumkan Yerusalem sebagai ibukota kekal. Setelah ratifikasi keputusan itu, Turki menutup konsulatnya di Yerusalem. Ia berharap Turki bisa menyelesaikan masalah seperti dulu melalui jalur diplomatik.
Isu Yerusalem bisa menjadi jerami terakhir hubungan Turki dan AS. Namun Cengiz tidak menampik, langkah Trump dapat menarik Turki, yang berhubungan dekat dengan Rusia dan Iran sebagai bagian dari proses Astana untuk Suriah, lebih dekat ke Teheran. Iran termasuk di antara negara-negara yang menolak gagasan relokasi Kedutaan Besar AS.
Yerusalem dan sejarah 9 Desember
Ilmuwan Timur Tengah terkemuka Fred Halliday pernah mengatakan, sejarah diperlukan untuk menjelaskan mengapa negara bertindak seperti itu. Pun sejarah bisa menjadi jawaban mengapa negara dan lawannya mengklaim, menggunakan, memilih, dan memalsukan sejarah untuk membenarkan tindakan kebijakan mereka.
Pada 9 Desember 1917, selama Perang Dunia I, pasukan Inggris dipimpin Jenderal Allenby merebut Yerusalem dari Kekaisaran Ottoman. Pada 9 Desember 1947, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 181, meminta pembagian Palestina ke negara-negara Arab dan Yahudi, dengan kota Yerusalem sebagai sebuah corpus separatum (entitas yang terpisah) diperintah oleh rezim internasional.
Pada 9 Desember 1987, intifada pertama dimulai di Jalur Gaza setelah seorang anak berusia 17 tahun melemparkan sebuah bom molotov ke sebuah patroli tentara dan dibunuh oleh seorang tentara Israel. Kematiannya memicu kerusuhan massal yang melanda Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem. Sejak 100 tahun Inggris merebut Yerusalem, tepantya pada 9 Desember 2017, Al-Quds tetap menempati agenda dunia.