Ahad 10 Dec 2017 07:36 WIB

Dergham: Memanfaatkan Ambiguitas Klaim Trump Atas Yerusalem

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Agus Yulianto
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.
Foto: AP/Alex Brandon
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Pendiri dan ketua eksekutif Beirut Institute Raghida Dergham menilai, pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, merupakan ambiguitas disengaja. Ia beranggapan, AS membiarkan pintu barat dan timur terbuka untuk Israel dan Palestina.

Selama ini, Dergham mengatakan, simbolisme posisi resmi AS itu penting bagi perdamaian Israel-Palestina. Namun, pengumuman rencana pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem telah mengubah simbolisme menjadi aksi.

Dilansir dari Arab News pada Ahad (10/12), Dergham mencoba mencermati ucapan Trump. Presiden AS itu tak berbicara tentang Yerusalem sepenuhnya ketika mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel.

Artinya, Trump berhasil menghindari jatuh dalam narasi Israel ihwal Yerusalem (barat dan timur) bersatu. Trump mengklaim, pengakuannya itu tidak lebih atau kurang, pengakuan kenyataan pendudukan Israel di Yerusalem.

Namun, Trump tidak mempertegas apakah yang dimaksud Yerusalem Barat atau Timur. Selama ini, Israel menduduki Yerusalem Barat sebagai ibu kotanya. Sementara Palestina, menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan.

Dergham menilai, dunia bisa memanfaatkan ambiguitas pengumuman Trump dengan mengisi kekosongan. Serta, mendorong pengakuan di lapangan ihwal Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Dergham menyebut, sebuah rencana tengah diproses untuk kesepakatan damai yang selama ini tak lengkap antara Palestina dan Israel. Rencana itu berdasarkan negara mini Palestina yang tidak berdampingan, terfragmentasi, demiliterisasi dengan kedaulatan dan perbatasan sementara.

"Modalnya berada di Abu Dis, sebuah desa dekat Yerusalem. Perekonomiannya akan didasarkan pada paket bantuan dan penghiburan finansial," katanya. Dergham menyebut Israel terlibat dalam rencana itu. Ia menyarankan pemerintah Arab turut terlibat dalam rencana itu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement