Sabtu 23 Dec 2017 07:00 WIB

Corak Kaligrafi Peradaban Islam

Para santri Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Kota Sukabumi tengah mengikuti ujian kaligrafi cabang mushaf dan dekorasi Rabu (31/5). Para santri di pesantren itu berasal dari 24 provinsi dan luar negeri.
Foto: Republika/Riga Nurul Iman
Para santri Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Kota Sukabumi tengah mengikuti ujian kaligrafi cabang mushaf dan dekorasi Rabu (31/5). Para santri di pesantren itu berasal dari 24 provinsi dan luar negeri.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kaligrafi atau seni menulis indah, merupakan seni yang paling dihargai sepanjang sejarah Muslim. Menurut The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Alquran memberi pengaruh besar dalam perkembangan kaligrafi. Sebab, perasaan yang mendorong agar Alquran ditulis dengan indah, melahirkan beragam gaya kaligrafi.

Ada istilah lain kaligrafi yang muncul dengan sebutan ‘khat’, yang bermakna tulisan atau garis, dan mengacu pada tulisan yang indah. Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru van Hoeve menjelaskan bahwa istilah khat dikemukakan oleh Syekh Syamsuddin al-Akfani. Ia adalah penulis berbagai cabang ilmu, seperti tasawuf dan kedokteran.

Dalam kitabnya yang berjudul Isryad al-Qasid yang membahas mengenai akhlak tasawuf, khususnya pada Hasyrul Ulum, Syekh Syamsuddin mengatakan, khat adalah ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, penempatannya, dan cara merangkainya menjadi tulisan.

Khat, menurutnya pula, apa yang ditulis dalam baris-baris, bagaimana cara menulisnya, serta menentukan mana yang tidak perlu ditulis, menggubah ejaan yang perlu digubah, dan bagaimana menggubahnya. Pengertian ini merujuk pada syarat terwujudnya tulisan yang bagus, di antaranya kesempurnaan, tata letak, dan pengolahan huruf.

Kaligrafer bernama Yaqut al-Musta’simi (wafat 1298 Masehi) memaparkan, suatu tulisan dapat dikatakan indah jika tulisan itu menyebarkan pengaruh keindahannya ke hati, jiwa, dan pikiran. Bahkan, ia melahirkan pernyataan terkenal. Kaligrafi, ucap dia, adalah arsitektur rohani yang lahir melalui perabot kebendaan.

Pada masa awal Islam, yaitu masa Rasulullah dan para sahabat utama beliau, corak kaligrafi masih kuno dan merujuk pada tempat kaligrafi itu dipakai. Misalnya, Makki adalah kaligrafi yang dipakai di Makkah, Madani merupakan kaligrafi di Madinah, dan Kufi diartikan sebagai kaligrafi yang banyak ditemukan di Kufah.

Dari semua itu, Kufi menjadi favorit dan satu-satunya kaligrafi yang digunakan untuk menulis mushaf Alquran hingga berakhirnya kekuasaan para sahabat, dari Abu Bakar hingga Ali bin Abu Thalib. Selain kepiawaian dalam baca dan tulis, minat Muslim pada kaligrafi diperkuat dengan keinginan memperindah tulisan Alquran.

Di sisi lain, pemicu lainnya berasal dari ayat-ayat Alquran, seperti qalam (pena), kitab, dan yasturun (menggores). Ada pula pernyataan Rasulullah mengenai hal ini. “Kaligrafi yang bagus akan menambahkan kebenaran lebih nyata”. Pada masa kekuasan Bani Umayyah mulai ada perubahan. Ada ketidakpuasan dengan corak Kufi. Sebab, corak Kufi dianggap kaku dan sulit untuk digoreskan.

Berpijak pada kondisi itu, maka mulailah lahir tulisan bergaya lebih lembut. Corak yang terkenal adalah Tumar, Jalil, Nisf, Sulus, dan Sulusain. Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi sosok penting yang mendesak pencarian alternatif corak kaligrafi selain Kufi.

Ketika kekhalifahan di bawah kendali Abbasiyah, kaligrafi juga mengalami dinamikanya sendiri. Saat itu ada corak Khafif Sulus, Khafif Sulusain, Riyasi, dan Al-Aqlam as-Sittah. Tokoh terkemukanya adalah Al-Ahwal dan Ibnu Muqlah. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World menyebut, Ibnu Muqlah yang menetapkan standar huruf.

Pada masa-masa selanjutnya, kaligrafi juga mengalami banyak perubahan. Tak hanya dalam bentuknya yang tradisional, tetapi juga modern. Banyak pula pegiat dan pencinta kaligrafi bermunculan. International Research Center for Islamic Culture and Art (IRCICA) di Istanbul, Turki hampir setiap tahun menggelar kompetesi kaligrafi tradisional.

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement