REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Wajah kita menjadi alat terbaru dalam dunia pengawasan digital. Dan di Australia kartu izin mengemudi mulai digunakan untuk melacak orang-orang baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Data Biometrik
Para ahli memperingatkan data biometrik milik kita mungkin sudah rentan disalahgunakan oleh komplotan penjahat dan teroris karena maraknya gabungan penggunaan telepon dan jejaring sosial serta adanya kamera CCTV dimana-mana sehingga kita lebih sering tertangkap kamera. Kartu izin mengemudi akan ditambahkan ke database biometrik di Australia, setelah adanya kesepakatan dengan negara-negara bagian dan wilayah khusus sehingga pihak berwenang dapat mengakses informasi soal warga mereka dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya.
Sebuah sistem yang dikenal dengan sebutan 'The Interoperability Hub' sudah ada di Australia, yang memungkinkan pihak berwenang mengambil foto dari CCTV atau media lainnya yang kemudian dicocokkan dengan database foto-foto dari paspor. Proses ini dikenal dengan sebutan 'The Capability.'
Tetapi, setelah kartu izin mengemudi masuk ke sistem database baru, maka pemerintah dan sejumlah pihak swasta dapat mengakses foto, usia, dan alamat Anda. Sistem ini sudah menghabiskan 21 juta dolar AS atau senilai Rp 210 miliar, sebagai cara mengatasi terorisme dan membuat layanan komersial lebih aman.
Namun para ahli memperingatkan kini warga berisiko kehilangan biometrik mereka sama sekali, karena pihak komersial, pemerintah dan kelompok kejahatan terorganisir berupaya mendapatkan lebih banyak data pribadi demi keuntungan mereka sendiri.
Kartu izin mengemudi jadi sumber data baru
Pakar teknologi dan hukum, Profesor Katina Michael mengatakan sekitar 50 persen populasi Australia telah memiliki semacam biometrik visual tersimpan dalam database yang dapat diakses secara nasional. Namun dengan digunakannya kartu izin pengemudi akan menyebabkan lebih banyak data pribadi warga yang tersimpan dan membuat jumlahnya naik 80 persen.
Profesor Michael mengatakan salah satu risiko terbesar dari pengumpulan data biometrik adalah bukan penyalahgunaan yang tidak disengaja oleh kepolisian federal Australia (AFP), agen intelijen Australia (ASIO), atau agen pemerintah lainnya, melainkan kerentanan cara kerja biometrik yang rentan.
"Ini bukan seperti Anda memasukan wajah seseorang kemudian mengatakan, 'mereka adalah tersangka'. Tapi yang kita dapatkan adalah sejumlah kemungkinan... mungkin ada 15, 20, 30, atau bahkan 50 kemiripan," kata Profesor Michael.
Jadi, yang akan didapatkan bukan satu orang yang akan ditangkap, melainkan 50 orang yang tak bersalah menjadi tersangka. Profesor Michael menjelaskan ini berarti bahwa meski nama seseorang bisa dipulihkan seiring waktu jika terbukti tidak bersalah, tapi masih ada dalam database yang terkait penyelidikan kriminal.
Orang diawasi secara terus-menerus
Profesor Michael mengatakan metode pengawasan modern yang digunakan penegak hukum tidak hanya terbatas pada CCTV. Mereka juga sekarang bisa memasukkan sejumlah besar metadata dan jejaring sosial, yang mengarah ke konsep dengan sebutan "uberveillance" di mana orang-orang dipantau secara terus menerus. "Sekarang kita memiliki 'jejak digital' yang ditinggalkan semua orang," katanya.
"Catatan panggilan telepon, apa yang dicari di internet, kartu kredit, bahkan data pada kartu elektronik kereta atau bus dapat digunakan untuk melacak pergerakan dan aktivitas Anda."
Apa selanjutnya?
Survei industri tahunan yang dilakukan oleh Biometrics Institute, yang dikenal sebagai 'Industry Trend Tracker', telah menyatakan teknologi pengenalan wajah kemungkinan akan menjadi tren biometrik yang meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Para responden survei merasa masalah privasi dan perlindungan data sebagai kendala terbesar, diikuti dengan pengetahuan yang buruk para pengambil keputusan, kesalahan informasi soal biometrik, serta penolakan dari pendukung privasi.
Komisi reformasi hukum Australia mengatakan sistem biometrik semakin banyak digunakan atau dipertimbangkan oleh banyak organisasi, termasuk program rehabilitisi narkoba, layanan pemesanan taksi, ATM dan perbankan online, serta akses masuk ke gedung. Profesor Michael mengatakan pemerintah harus sangat berhati-hati dalam menerapkan sumber data baru yang melimpah ini di masa depan.
Menurutnya, pemerintah sedang membangun kesepakatan antara pihaknya dengan sejumlah perusahaan untuk berupaya menghindari kecurangan, namun seringkali tidak tercapai dan potensi menyalahgunakan sangatlah luas. "Apa yang kita lakukan dalam mencocokkan dengan kumpulan data adalah seperti menemukan jarum di tumpukan jerami," katanya.
Dalam pernyataan Departemen Dalam Negeri disebutkan Pemerintah Australia sedang menjajaki pembuatan layanan verifikasi lewat pengenalan wajah untuk sektor swasta, namun upaya ini belum dimulai.
Disadur dari laporan aslinya dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca disini.