REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pangeran Diponegoro, bangsawan Jawa yang bernama kecil Mustahar ini, lahir di Keraton Yogyakarta pada 11 November 1785. Dia merupakan putra dari selir Sultan Hamengkubuwono III yang bernama Raden Ayu Mangkarawati. Dari sang ibunda, Pangeran Diponegoro mendapatkan silsilah wali sanga, yakni Sunan Ampel.
Menurut Peter Carey, yang puluhan tahun meneliti Perang Diponegoro, perjuangan sang pangeran menandakan batas zaman. Sebelum konflik itu pecah pada 1825, hubungan antara pihak kolonial Eropa, termasuk Belanda, dan para raja Jawa cenderung setara.
Perang-perang yang terjadi merupakan suksesi para penguasa lokal, yang di dalamnya Belanda terlibat dengan menjalankan politik pecah belah (devide et impera). Caranya ialah bekerja sama dengan seorang ningrat tertentu untuk menduduki tampuk kekuasaan sembari memusuhi ningrat lainnya.
Kesultanan Mataram berdiri sejak 1578 dan mencapai puncak kejayaannya dalam era Sultan Agung (wafat 1645). Belanda (VOC) pertama kali datang ke Nusantara pada awal abad ke-17 dengan dalih berdagang, tapi kemudian merusak tatanan politik lokal.
Di Jawa, Kesultanan Mataram tertungkus lumus oleh campur tangan Belanda. Puncaknya, Perjanjian Giyanti pada 1755 memecah Kesultanan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Sejak berakhirnya Perang Diponegoro pada 1830, masuklah Nusantara ke tatanan kolonialisme seutuhnya. Belanda menjadikan raja-raja Jawa hanyalah bagian dari birokrasi kolonial. Hal ini terutama sejak diberlakukannya sistem tanam paksa yang dipelopori gubernur jenderal van den Bosch.
Sistem ini memperkaya Belanda sekaligus menyengsarakan rakyat nusantara. Barulah kemudian memasuki awal abad ke-20, Belanda kembali mengalami perlawanan besar melalui gagasan modernisme Islam dan nasionalisme di Nusantara.