REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Selandia Baru, negeri makmur di Pasifik Selatan ini, menjadi rumah bagi sekitar 36 ribu Muslim. Jumlah itu tak sampai satu persen dari total populasi negara ini, yakni 3,9 juta jiwa (ber dasarkan sensus tahun 2006). Meski hanya minoritas, Muslim di Selandia Baru me nunjukkan per kembangan yang menggembirakan. Ibarat bunga, dari hari ke hari mereka terus tumbuh dan kian mekar.
Di negara ini, konsentrasi Muslim terbesar berada di Kota Auckland. Sementara, lainnya menyebar di beberapa kota lain, seperti Wellington, Christ church, Hamilton, Dunedin, Hastings, Tauranga, New Plymouth, Hawera, Whangarei, dan Palmerston North.
Sejarah mencatat, kaum Mus lim pertama kali datang ke Selandia Baru pada 1874, ber samaan dengan terjadinya gold rush atau perburuan emas menyusul ditemukannya ladang emas Dunstan di Otago. Ladang emas di tepi Sungai Clutha, su ngai terpanjang kedua di Selandia Baru, ditemukan oleh dua orang Amerika, Horatio Hartley dan Christopher Reilly.
Penemuan ladang emas ini menarik minat banyak pekerja dari berbagai penjuru dunia untuk mengadu untung. Di antara mereka adalah sekelompok penambang emas dari daratan Cina. Inilah awal kisah Islam di Negeri Kiwi.
“Sensus pada masa itu me nyebutkan, 15 dari 17 penambang emas Tionghoa itu men daftarkan diri sebagai Moham medan, pengikut Nabi Muhammad,” demikian ungkap Prof Douglas Pratt, dosen kajian agama pada Fakultas Sastra dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Waikato, Selandia Baru.
Dari ke-15 Muslim Tionghoa itu, sebagian terus menetap di Selandia Baru dan berkeluarga dengan perempuan setempat. Sementara, sebagian lainnya kembali ke tanah asal mereka, Tiongkok.
Pada awal 1900-an, komunitas Muslim di Selandia Baru ber tambah me nyusul kedatan g an tiga keluarga India dari Gujarat. Jumlah Mus lim yang se di kit ini kemudian ber tambah lagi ke tika pada 1951 se buah ka pal pengungsi Nor wegia, SS Go ya, meng ang kut 900 orang pengungsi dari Eropa Timur, 60 di antaranya adalah Muslim. Para pengungsi ini melarikan diri dari rezim komunis masa itu.
Kemudian, pada 1970-an dan 1990-an, datang lagi warga Muslim dari Fiji dan para pe ngungsi dari negara-negara lain yang dikoyak perang.
Jika pada sensus 2006 jumlah Muslim masih kurang dari satu persen, saat ini diyakini telah bertambah. Pratt memperkirakan sekitar 1,2 persen. “Secara resmi, 36 ribu warga terdaftar sebagai Muslim, tetapi perkiraan lepas sebenarnya lebih mendekati 50 ribu Muslim ada di Selandia Baru, dari 4,2 atau 4,3 juta jumlah penduduk,” ujarnya seperti dikutip voanews.com.
Selain di berbagai kota yang telah disebutkan di atas, cukup banyak Muslim yang tinggal di wilayah pedesaan dan peternakan. “Alasan utama me ngapa banyak Muslim tinggal di dae rah itu karena adanya rumah-rumah pemotongan hewan. Sa lah satu ekspor pokok Selandia Baru adalah daging, yang pasar utamanya adalah negaranegara Muslim. Untuk merebut pasarpasar itu, tentu saja, daging yang diekspor mesti halal yang berarti harus mempekerjakan para penyembelih hewan yang terlatih menyembelih secara halal,” papar Pratt.
Kedatangan para penyembelih hewan ke daerah-daerah peternakan ini menimbulkan sen tuhan dan persilangan budaya dengan orang-orang Maori, penduduk asli Selandia Baru. Interaksi budaya ini rupanya berjalan lancar. “Sehingga, Islam dikatakan sebagai agama yang berkembang paling cepat di kalangan suku Maori. Diketahui, ada lebih dari 1.000 warga Maori yang Muslim. Mereka kebanyakan orang-orang muda.”
Tahun lalu, telah terbit terjemahan kitab suci Alquran dalam bahasa Maori, Kuranu Tapu. Pada 2009, pe mimpin Persatuan Muslim Maori Selandia Baru Sheikh Eshaq Te Amorangi Morgan Kireka-Whaanga terpilih sebagai salah seorang dari 500 tokoh Muslim paling ber pengaruh di dunia.
Disarikan dari Islam Digest Republika