REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah interpretasi yang paling sering didengar adalah bahwa Islam tak pernah mewajibkan sunat bagi perempuan, namun tak melarangnya juga. Di banyak wilayah, sunat perempuan menjadi bagian tradisi, bukan berlatar agama.
Di Afrika, misalnya, pemotongan bagian organ intim perempuan ini dipraktikkan tak hanya oleh umat Islam, tapi juga penganut Kristen dan keyakinan animisme. Di Mesir, di mana 97 persen anak perempuan mengalami mutilasi alat kelamin, baik umat Kristen Koptik maupun Muslim melakukannya.
Namun, di tingkat akar rumput, mereka yang melakukan praktik tersebut menawarkan campuran alasan budaya dan agama untuk itu. Orang-orang Kris ten dan Muslim percaya bahwa penyunatan anak perempuan mencegah mereka dari kemalangan di masa depan; membuat mereka lebih menarik bagi suami. Banyak kaum ibu takut anak perempuan mereka tidak bisa menikah jika mereka belum bersunat.
Terkadang mitos juga terbentuk dalam masyarakat untuk membenarkan sunat bagi perempuan. Hanny Lightfoot- Klein, ahli antropologi yang melakukan penelitian bertahun-tahun tentang sunat perempuan di Kenya, Mesir, dan Sudan, menjelaskan tiap masyarakat memiliki keyakinan tersendiri terkait praktik ini. Di Sudan misalnya, mitos umum yang diyakini adalah bahwa klitoris akan tumbuh sepanjang leher angsa sampai terjepit di antara kedua kaki jika tidak dipotong.
Namun, sejumlah ulama lokal juga menekankannya sebagai bagian dari perintah agama. Sunat perempuan diyakini sebagai perintah sunah, yang berarti bahwa praktik ini direkomendasikan secara religius atau bahwa hal itu dilaku kan pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Meskipun tidak disebutkan tentang sunat perempuan dalam Alquran, sebuah hadis menceritakan sebuah diskusi antara Rasulullah SAW dengan Um Habibah (atau Um 'Atiyyah). Ia adalah dukun sunat pada zamannya, dan terkait profesinya ia berkata, "Kecuali jika dilarang, dan Anda memerintahkan saya untuk berhenti melakukannya." Nabi Muhammad menjawab: "Ya, diperbolehkan. Mendekatlah supaya aku bisa mengajarimu: jika memotong jangan berlebihan, karena akan membawa lebih banyak sinar ke wajah, dan ini lebih menyenangkan bagi sang suami."
Sebagian besar ulama menggunakan hadis ini untuk mengatakan sunat dianjurkan, tapi tidak wajib bagi wanita. Tapi ada yang mengatakan itu wajib. Sementara yang lain menyebut hadis ini dhoif alias lemah.
Sebuah interpretasi yang sering di dengar adalah bahwa Islam tak pernah mewajibkan sunat bagi perempuan, diyakini antara lain oleh Syekh Omer dari Ethiopia. Yang lainnya, seperti almarhum rektor Universitas Al-Azhar, Syekh Gad al-Haq, mengatakan, bahwa karena Nabi tidak melarang sunat perempuan, maka hal itu diperbolehkan atau, paling tidak, tidak dapat dilarang.
Namun, pakar fikih lain dari Universitas Al-Azhar berada dalam posisi sebaliknya. Ali Gomar misalnya, mengatakan sunat perempuan harus dihentikan untuk mendukung salah satu nilai tertinggi Islam, yaitu tidak membahayakan pihak lain lain, dalam hal ini kaum Hawa. Namun pendapat arus utama yang banyak dipakai kaum Muslim adalah seperti yang dikemukakan Mufti Besar Al Azhar, Oman Ahmed Al Khalili, "Meskipun tidak wajib bagi perempuan, kami tidak dapat menggambarkannya sebagai kejahatan terhadap perempuan atau sebagai pelanggaran terhadap hak-hak perempuan."
Merujuk pada pendapat ulama terdahulu, dari empat imam hanya mahzab Syafi'i yang mewajibkannya. Ada juga pendapat yang lemah yang menyatakan bahwa Imam Nawawi merekomendasi kan. Di beberapa wilayah di Indonesia dan Malaysia yang menganut aliran imam Syafi'i praktik sunat perempuan masih dilakukan, seperti halnya di wilayah Palestina, Yordania, dan sebagian Suriah.
Survei di Yaman dan Kurdis tan Irak menunjukkan bahwa sunat perempuan dipraktikkan secara luas. Namun, hampir dipastikan bahwa hal tersebut tidak dilakukan oleh orang-orang Palestina atau mayoritas orang Suriah dan Yordania.
Dalam aliran Syiah, hanya sedikit data terkait sunat perempuan. Almarhum Ayatullah Agung Fadlallah di Lebanon diketahui sangat menentang sunat perempuan. Dia beralasan sunat pada perempuan bukanlah peraturan Islam; Sebaliknya itu adalah ritual Arab sebelum Islam. Ada banyak hadis yang berkonotasi dengan sikap negatif Islam terhadap ritual ini.
"Namun, Islam tidak melarangnya pada saat itu karena tidak mungkin tiba-tiba melarang ritual dengan akar kuat dalam budaya Arab; melainkan lebih suka untuk secara bertahap menguranginya. Beginilah cara Islam menangani perbudakan juga," katanya.
Para ayatullah di Iran terkesan bersikap hati-hati terkait fatwa terhadap sunat perempuan. Ayatollah Khamenei hanya menyatakan, "Mutilasi alat kelamin perempuan tidak umum di kalangan kaum Syiah, namun tidak ada salahnya jika hal itu dilakukan dengan alasan tertentu, termasuk alasan kesehatan." Penelitian terakhir dari Iran menemukan bahwa sunat perempuan dipraktikkan lebih banyak oleh minoritas Sunni namun tidak oleh mayoritas kaum Syiah.
Namun, beberapa cabang Syiah melakukan praktik sunat bagi perempuan. Misalnya aliran Zaydis di Yaman, Ibhadis di Oman, dan setidaknya oleh sebagian kaum Ismailiyah (Daudi Bohras) di In dia, ketiganya adalah cabang Syiah. Sebuah survei oleh WADI menemukan bahwa di wilayah Kirkuk di Irak 23 persen gadis Syiah dan wanita juga menjalani sunat.
***
SUNAT PEREMPUAN
PENYUNATAN
Tindakan dengan sengaja mengubah bentuk organ intim wanita tanpa alasan medis.
EFEK
* Kesakitan
* Perdarahan hebat
* Kerusakan jaringan organ vital
* Demam
* Infeksi
* Shock
* Kematian
PROBLEM JANGKA PANJANG
* Problem buang air kecil, menstruasi, seksual
* Problem psikologis dan reproduksi
Penyunatan umumnya dilakukan sebelum usia 5 tahun
Somalia, Djibouti, Guinea dan adalah negara dengan persentase sunat perempuan tertinggi di dunia.
Lebih dari 200 juta anak perempuan dan wanita menjadi korban sunat di 30 negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia.
Sumber: WHO, UNICEF, International Journal of Gynaecology & Obstetrics