REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh oleh: Dr Oni Sahroni MA, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, Saya ingin bertanya tentang pendapatan profesional seperti karyawan, dokter, tenaga pengajar. Apakah wajib zakat atau tidak menurut syariah? Dan bagaimana landasan syariahnya?. Terimakasih atas penjelasannya.
Abdullah (Jakarta)
Waalaikum salam wr wb.
Profesi adalah pekerjaan di bidang jasa atau pelayanan selain bertani, berdagang, bertambang dan beternak dengan imbalan berupa upah atau gaji dalam bentuk mata uang, baik bersifat tetap atau tidak. Baik pekerjaan yang dilakukan langsung ataupun bagian lembaga, baik pekerjaan yang mengandalkan keterampilan ataupun tenaga.
Contohnya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, olahragawan, artis, seniman dan sejenisnya.
Dalam istilah fikih, pendapatan/penghasilan professional tersebut mirip dengan maal mustafad yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih zakat. Zakat profesi ini bukan bahasan baru, karena para ulama fikih telah menjelaskannya dalam kitab-kitab klasik, diantaranya kitab al-Muhalla (Ibnu Hazm), al-Mughni (Ibnu Quddamah), Nail al-Athar (Asy-Syaukani), Subul As-Salam (Ash-Shan’ani).
Menurut mereka, setiap upah/gaji yang didapatkan dari pekerjaan itu wajib zakat (wajib ditunaikan zakatnya). Diantara para ulama yang mewajibkan zakat profesi adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiah, ash-Shadiq, al-Baqir, an-Nashir, Daud, Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, az-Zuhri, dan al-Auza’i.
Zakat profesi itu wajib ditunaikan berdasarkan ayat, maqashid dan maslahat. Diantara ayat yang mewajibkan zakat bersifat umum, seperti firman Allah SWT yang artinya: “Ambillah dari sebagian harta orang kaya sebagai sedekah (zakat), yang dapat membersihkan harta mereka dan mensucikan jiwa mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu dapat memberi ketenangan bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)
Hal ini sesuai dengan maqashid (tujuan) diberlakukannya zakat yaitu semangat berbagi, memenuhi hajat dhuafa dan kebutuhan dakwah. Pendapatan kaum profesional itu besar, harus terdistribusi kepada kaum dhuafa sehingga ikut memenuhi hajat mereka.
Dari sisi keadilan, zakat tidak mungkin diwajibkan kepada petani yang mendapatkan penghasilan dengan nisabnya sekitar Rp 6,5 juta. Sedangkan seorang profesional (yang mendapatkan satu kali penghasilan yang setara dengan penghasilan petani dalam 10 tahun) itu tidak diwajibkan. Oleh karena itu, kewajiban zakat profesi telah sesuai dengan
maqashid kewajiban zakat dan aspek keadilan.
Kewajiban zakat profesi ini juga disebutkan dalam beberapa riwayat, diantaranya Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan: “Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya.”
Bahkan jika menelaah penjelasan para sahabat, tabi’in, dan ulama setelahnya, begitu pula pandangan ulama kontemporer, lembaga fatwa di Indonesia dan lembaga zakat di tanah air, bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak ada satupun ulama atau lembaga ataupun otoritas fatwa yang tidak mewajibkan zakat profesi.
Tetapi, semuanya mewajibkan zakat profesi, perbedaannya sebagian mewajibkan adanya haul (melewati satu tahun), dan sebagian yang lain tidak mewajibkan haul. Kesimpulan zakat penghasilan atau zakat profesi itu wajib merupakan pandangan Majlis Ulama Indonesia. Wallahu a’lam.