REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Director of National Intelligence AS menyebut Presiden Filipina Rodrigo Duterte sebagai ancaman bagi demokrasi di Asia Tenggara. Laporan tersebut menempatkan Duterte sejajar dengan Hun Sen di Kamboja, krisis Rohingya, dan konstitusi militer Thailand yang juga dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi.
PM Kamboja, Samdech Techo Hun Sen
Laporan tertanggal 13 Februari 2018 itu dikeluarkan dengan judul Threat Assessment Worldwide. Menurut laporan tersebut, demokrasi dan hak asasi manusia di banyak negara Asia Tenggara akan tetap rapuh pada 2018 karena kecenderungan otokratis, korupsi, dan kronisme yang merajalela.
"Di Filipina, Presiden Duterte akan terus melakukan kampanyenya melawan narkoba, korupsi, dan kejahatan. Duterte bisa menangguhkan konstitusi dan mengumumkan pemerintahan revolusioner," tulis laporan itu.
Duterte dilaporkan telah menanggapi secara serius laporan dari Komunitas Intelijen AS tersebut. Juru bicara kepresidenan Filipina Harry Roque mengatakan kepada radio DZMM, ia menolak dengan tegas penilaian intelijen AS terhadap Duterte yang dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi.
"Kami menanggapi pernyataan dari intelijen Amerika dengan serius. Saya pikir itu tidak benar, dia adalah seorang pengacara, dia tahu hukumnya, dia ingin menegakkan supremasi hukum, dia tahu tentang RUU hak asasi," kata Roque, Rabu (21/2).
Ini bukan kali pertama AS mengkritik Duterte, yang terkenal karena sering menentang tekanan internasional. Duterte merasa geram dengan kekhawatiran pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama tentang kampanye antinarkoba di Filipina.
Lebih dari 4.000 orang telah terbunuh dalam operasi yang dilakukan terhadap tersangka pengedar dan pengguna narkoba di bawah perang Duterte terhadap obat-obatan terlarang sejak Juli 2016. Kelompok hak asasi manusia menuduh polisi telah melakukan eksekusi sewenang-wenang. Jaksa Pengadilan Pidana Internasional (ICC) sebelumnya telah memulai penyelidikan pendahuluan terhadap kampanye antinarkoba Duterte.