REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warga distrik Ghouta, Suriah timur, mengatakan menunggu "giliran meninggal" pada Rabu, di tengah-tengah salah satu pengeboman paling hebat dalam perang oleh pasukan pemerintah di kantung pejuang dan terkepung di dekat Damaskus itu.
Sedikit-dikitnya 27 orang tewas dan lebih 200 lagi menderita luka-luka pada Rabu. Sekurang-kurangnya 299 orang tewas di distrik itu dalam tiga hari belakangan, kata pemantau perang Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, yang berkedudukan di Inggris.
Sebanyak 13 mayat lagi, termasuk lima anak-anak, ditemukan dari reruntuhan rumah hancur pada Selasa di desa Arbin dan Saqba, katanya.
Ghouta timur, distrik padat penduduk dan bermata pencarian di bidang pertanian di pinggiran kota Damaskus, adalah kawasan utama terakhir dekat ibu kota itu yang masih di bawah kendali pejuang. Kampung halaman bagi 400.000 orang tersebut dikepung pasukan pemerintah selama beberapa tahun.
Peningkatan tajam dalam pengeboman, termasuk serangan roket, gempuran, serangan-serangan udara dan bom-bom yang dijatuhkan dari helikopter, sejak Ahad telah menjadi salah satu pengeboman paling mematikan dalam perang saudara di Suriah, sekarang memasuki tahun kedelapan.
Foto-foto yang diambil Reuters di bagian timur Ghouta pada Rabu menunjukkan pria-pria yang mencari di reruntuhan gedung-gedung yang dihantam bom, membawa orang-orang yang berlumuran darah ke rumah sakit dan meringkuk di jalan-jalan yang dipenuhi puing-puing.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk pengeboman tersebut, yang menghantam rumah-rumah sakit dan infrastruktur sipil, dengan menyatakan serangan-serangan seperti itu dapat menjadi kejahatan perang.
Observatorium mengatakan serangan-serangan tampaknya mengendur Selasa malam tetapi mulai kembali meningkat pada Rabu pagi. Pasukan pro pemerintah menembakkan ratusan roket dan menjatuhkan bom-bom tandan dari helikopter-helikopter di kota-kota dan desa-desa distrik tersebut.
"Kami menunggu giliran kami meninggal. Hanya inilah yang dapat saya sampaikan," kata Bilal Abu Salah, 22 tahun, yang istrinya sedang hamil lima bulan dengan anak pertamanya di Douma, kota terbesar di bagian timur Ghouta. Mereka takut teror pengeboman itu akan membuatnya melahirkan lebih awal, katanya.
"Hampir semua orang yang tinggal di sini berada di tempat-tempat penampungan sekarang. Ada lima atau enam keluarga dalam satu rumah. Tak ada makanan, tak ada pasar," katanya.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada Rabu menyerukan akses kemanusiaan ke Ghouta, khususnya untuk mencapai orang-orang yang luka-luka yang sangat membutuhkan perawatan.
"Pertempuran tampaknya menyebabkan lebih banyak penderitaan pada beberapa hari dan pekan ke depan," kata Marianne Gasser, kepala delegasi ICRC di Suriah