REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menilai revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) merupakan bentuk pengekangan terhadap prinsip kebebasan berekspresi dan berpendapat, kata Wakil Sekjen KIPP, Girindra Sandino di Jakarta, Kamis (22/2). Dengan disetujuinya oleh DPR bagi pengesahan revisi UU MD3, yang salah satu pasalnya mengatur tentang upaya penindakan hukum terhadap perilaku yang dianggap merendahkan kehormatan anggota DPR, maka prinsip kebebasan berekspresi di Tanah Air mulai dibatasi.
"Setiap dari kita itu lahir dalam kebebasan berteriak, menangis dan beraktivitas. Kebebasan berpendapat dan menyuarakan pemikiran adalah bukti bahwa rakyat Indonesia memang cerdas dan haus akan pengetahuan," kata Girindra.
"Secara sadar, revisi UU MD3 merupakan wujud dari pengekangan dengan perangkat pemusnah kebebasan bersuara, yang menandakan kita telah masuk dalam genggaman penghancuran Pancasila," tambahnya.
Sebelumnya, dalam rapat paripurna DPR pekan lalu menyepakati perubahan kedua UU MD3 dengan beberapa perubahan. Antara lain penambahan jumlah pimpinan, mekanisme pemanggilan paksa terhadap pejabat negara dengan melibatkan aparat kepolisian, serta terkait langkah hukum terhadap orang yang dianggap merendahkan martabat DPR.
Presiden Joko Widodo belum menandatangani rancangan atau draf revisi tersebut menjadi UU, meskipun DPR telah menyetujuinya. Presiden mengaku masih ingin mengkaji pasal-pasal yang dinilai kontroversial tersebut.
"Memang sudah di meja saya, dan belum saya tandatangani. Sampai saat ini belum saya tanda tangani karena saya ingin agar ada kajian-kajian apakah perlu tanda tangan atau tidak," kata Jokowi.