REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah memungut zakat bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) menuai pro dan kontra. Terlepas dari persoalan itu, apakah ASN memang wajib mengeluarkan zakat jika gajinya sudah mencapai satu nisab?
Pakar tafsir Indonesia, M Quraish Shihab menjelaskan bahwa berdasarkan hakikat keagamaan yang menegaskan fungsi sosial harta benda, maka sulit untuk tidak mendukung pandangan yang mewajibakannya. Walaupun, para ulama hingga kini belum sepakat ihwal apakah gaji yang telah mencukupi nishab wajib dizakati atau tidak.
Dalam bukunya yang berjudul "M. Qurqish Shihab Menjawab", dia menjelaskan bahwa Alquran sendiri telah menegaskan bahwa ada kewajiban yang harus ditunaikan menyangkut harta.
"Dan orang-orang yang dalam harta mereka ada hak bagi yang meminta dan tidak memiliki" (Q8. al-Ma'arij [70]: 23-24).
Bukankah pada hakikatnya harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan yang menurut kebiasaan dapat dimanfaatkan (dalam hal ini termasuk upah dan honorarium)? Bukankah zakat adalah sarana pembersihan, baik terhadap jiwa ataupun harta?
Tentu saja, tidak logis bila hanya harta yang disebut-sebut Nabi di masa beliau saja yang memerlukan itu, tidak pula hanya petani kecil, tetapi juga segala macam harta.
Karena itu, tidaklah wajar membiarkan mereka yang berpenghasilan jauh lebih besar daripada para petani menikmati hartanya tanpa zakat.
"Atas dasar itu, saya sependapat dengan para ulama yang mewajibkan pegawai berpenghasilan sedikitnya sejumlah nishab untuk mengeluarkan zakatnya," kata Quraish Shihab.
Cara Menghitung Pengeluaran Zakat ASN
Ada dua cara menghitung pengeluaran zakat: pertama, mengeluarkannya saat menerimanya, bila jumlah yang diterima mencapai nishab (senilai 85 gram emas atau 653 kilogram hasil pertanian).
Kedua, mengeluarkan zakatnya dalam setahun, setelah menghitung hasil bersih pendapatannya. Perlu digaris bawahi bahwa yang dihitung untuk dizakati adalah hasil bersih, karena zakat pada dasarnya tidak dikenakan atas harta yang dimiliki seseorang untuk keperluan hidupnya dan orang-orang yang wajib dia tanggung biaya hidupnya.
Jelas, ada yang tidak sependapat dengan pandangan ini. Namun, menurut Quraish, satu hal yang pasti adalah bahwa jiwa ajaran agama dan anjurannya, mendukung secara amat jelas dikeluarkannya sebagian hasil usaha (seperti gaji atau honorarium) untuk kepentingan kaum lemah, baik atas nama zakat yang diwajibkan oleh Allah, maupun yang diwajibkan sendiri oleh pemiliknya atas nama apa pun.