REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahlli Geologi Indonesia (IAGI) Singgih Widagdo mengatakan, pentingnya pemerintah membuat langkah strategis untuk menetapkan formulasi harga batu bara bagi pasar domestik (domestik market obligation/ DMO).
"Harga batu bara domestik seharusnya memiliki visi jangka panjang. Dengan demikian, pemerintah seharusnya juga menetapkannya jauh sebelum PLTU Batu bara mendominasi bauran energi di Indonesia," kata Singgih, kemarin.
Kebijakan Harga Batu bara Acuan (HBA) memang diakui menjadi salah satu keberhasilan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Termasuk pembayaran royalti batu bara yang harus dibayarkan terlebih dahulu oleh pengusaha tambang batu bara, sebelum menjual ke pihak lain.
Pemerintah, menurut Singgih, seharusnya memisahkan antara harga batu bara di dalam negeri dan harga batu bara untuk kepentingan ekspor.
"Memisahkan harga jual batu bara untuk pasar domestik dan ekspor, bukan saja mempertimbangkan nilai ekonomi semata, melainkan juga menjadi rasional bagi masyarakat dalam menilai pemerintah, mengelola sumber daya alam untuk kepentingan sebesar-besar rakyat," ujar dia.
Menurut Singgih, sebagai eksportir batu bara terbesar di dunia, Indonesia semestinya dapat memainkan perannya dalam memengaruhi harga batu bara di pasar internasional.
Mengenai perbedaan harga antara pasar domestik dan ekspor, idealnya menjadi pemikiran kepentingan oleh berbagai pihak, seperti Kementeriaan ESDM, Kementerian Keuangan, pemerintah daerah, dan juga investor pertambangan.
Dengan memisahkan harga domestik dan ekspor, perdebatan di saat indeks harga batubara menyentuh diatas 100 dolar AS dapat diantisipasi sebelumnya dengan menggunakan satu formulasi.
Kementerian ESDM diminta untuk tidak perlu terburu-buru atas dorongan naiknya belanja energi primer. Lebih baik hal ini diarahkan bagaimana batu bara dapat dikelola sebagai energi untuk kepentingan ekonomi nasional jangka panjang.