Kamis 01 Mar 2018 10:32 WIB

Indonesia Jadi Negara dengan Sedimentasi Tertinggi di Dunia

Sedimentasi di Indonesia sangat tinggi, yakni lebih dari 250 ton per tahun.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Ratna Puspita
Seorang anak melintas di pengendali sedimen Danau Sentani di Sungai Harapan, Kampung Nolokla, Kabupaten Jayaura, Papua. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Seorang anak melintas di pengendali sedimen Danau Sentani di Sungai Harapan, Kampung Nolokla, Kabupaten Jayaura, Papua. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Indonesia saat ini menjadi negara dengan sedimentasi terbesar di dunia. Menurut Kepala Subdirektorat Pemolaan Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PDASHL) M Saparis Soedarjanto, sedimentasi di Indonesia sangat tinggi, yakni lebih dari 250 ton per tahun.

"Kerugian akibat erosi di Indonesia ini mencapai 400 juta dolar per tahun atau sekitar Rp 5 triliun," ujar Saparis Soedarjanto yang akrab disapa Toto kepada wartawan di Hotel Sutan Kabupaten Bandung, Kamis (1/3).

Menurut Toto, laju sendimentasi Indonesia tinggi karena temasuk negara tropis basah. Tinggi sendimentasi di Indonesia pun  dipengaruhi oleh posisi geografis. 

Selain Indonesia, negara lain di Asia yang sendimentasinya cukup tinggi adalah Cina, Filipina, Brasil, dan Argentina. "Untuk mengurangi sedimentasi itu, kami dari kementerian terus melakukan penanaman di area hulu," katanya.

Toto menjelaskan, sedimen dan erosi akan selalu terjadi di dunia ini. Dia menerangkan, sebagus apa pun lahan, erosi masih bisa terjadi sebagai bagian alam mencari keseimbangan.

"Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menanam tegakan (bagian dari tumbuhan) dan menutup tanah dengan berbagai tanaman," katanya.

Secara nasional, kata dia, luas lahan kritis di Indonesia mencapai 24,3 juta hektare. Sementara, kemampuan APBN hanya bisa membiayai 200 ribu hektare pertahun. Laju degradasi lahan, sekitar 300 ribu hektare per tahun.

"Kami terus melakukan penanaman di lahan kritis terutama yang ada di Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mencegah erosi bahkan banjir," katanya.

Menurut Toto, salah satu DAS yang cukup tinggi areal lahan kritisnya adalah DAS Citarum. DAS ini, meliputi 10 kabupaten dan 2 kota dengan luas 690.571,57 haktare. Sementara, luas lahan kritisnya mencapai 79.548 ha. Yakni, lahan kritis yang ada dalam kawasan hutan seluas 38.963 haktare dan luar kawasan hutan 40.585 haktare.

Selain melakukan penanaman di DAS Citarum, dia mengatakan, berbagai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pun dilakukan. Di antaranya, pembuatan bangunan konservasi tanah dan air seperti membuat dam penahan, gully plug atau pengendali jurang, dan sumur resapan.

Menurut Toto, salah satu upaya yang dilakukan Ditjen PDASHL adalah melalui kegiatan Rehabilitas Hutan Lindung (RHL) dari 2015 sampai 2017 di lahan seluas 18.925 hektare. Hasilnya, bisa menurunkan erosi di DAS Citarum hulu dari total 6.103.017 ton pertahun menjadi 5.280.849 ton pertahun.

"Saya optimistis, erosi ini bisa menurun lagi menjadi 2.323.585 ton pertahun kalau semua lahan kritis tersisa di hulu DAS Citarum telah direhabilitasi," katanya.

Pada 2018, kata dia, direncanakan akan dilakukan kegiatan reboisasi di lahan seluas 2.500 hektare. Yakni, pemeliharaan tahun ke 1 reboisasi seluas 500 ha, pemeliharaan tahun pertama agroforesty seluas 500 ha, pemeliharaan tahun kedua agroforesty seluas 320 ha, pembuatan Kebun Bibit Rakyat (KBR) sebanyak 12 unit, dan lainnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement