REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta berencana untuk mengeluarkan kebijakan yang melarang mahasiswinya mengenakan cadar (penutup muka) dalam aktivitas belajar mengajar di dalam kampus. Bahkan, pihak kampus juga akan memecat mahasiswi tersebut jika tidak bersedia melepas cadar setelah melalui beberapa proses tahapan pembinaan.
Menanggapi ini, Ketua Komnas Perempuan, Azriana, mengatakan Komnas Perempuan melihat pengaturan cara berbusana sebagai bagian dari kontrol atas tubuh. Selama ini, menurutnya, pihaknya memang melihat pengaturan berpakaian lebih banyak ditujukan kepada perempuan.
Dalam hal ini, Azriana mengatakan Komnas Perempuan meletakkan pengaturan busana tersebut di dalam salah satu bentuk kekerasan seksual dan diskriminasi terhadap perempuan. Dikatakan diskriminatif, menurutnya, jika itu mengurangi dan mengabaikan kesempatan perempuan untuk menikmati hak-haknya.
Misalnya, dalam kasus pelarangan cadar jika memang diterapkan, ia mengatakan hak perempuan bercadar untuk bisa menikmati pendidikan di kampus tersebut menjadi hilang. Karena salah bentuk tindak kekerasan seksual dan diskriminasi itulah, ia mengatakan melarang perempuan menggunakan atau mewajibkan perempuan berbusana tertentu sama-sama tidak bisa dibenarkan.
"Sikap Komnas Perempuan terhadap pemberitaan tentang adanya rencana larangan penggunaan cadar di UIN-Suka, kami menolak segala bentuk pengaturan berbusana terhadap perempuan. Apalagi, jika itu bagian dari politisasi agama atau identitas," kata Azriana, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (7/3).
Azriana mengatakan, bahwa pihaknya telah melakukan konfirmasi ke pihak kampus. Sejauh ini, pihak kampus memang hanya baru tahap rencana dan belum memberlakukan itu sebagai kebijakan. Namun demikian, upaya yang tengah dilakukan UIN-Suka saat ini adalah penangkalan radikalisasi di kalangan kampus. Dikatakannya, pihak kampus masih melakukan tahap dialog.
Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa Komnas Perempuan memandang inisiatif UIN-Suka untuk melakukan penangkalan radikalisasi ke kampus adalah hal yang perlu diapresiasi. Kendati demikian, ia berharap hal itu dilakukan melalui pengintegrasian penangkalan faham radikalisasi ke dalam materi pendidikan.
"Upaya penangkalan tidak harus selalu dilakukan melalui pengaturan busana. Kita jangan hanya di tataran simbol saja. Jangan menilai atau menghakimi seseorang yang bercadar itu sudah pasti terkena faham radikal," lanjutnya,
Apalagi, ia mengatakan institusi pendidikan harus membebaskan diri dari sesuatu yang bisa memperkeruh kebhinekaan. Azriana menegaskan bahwa berbusana adalah bagian dari hak konstitusional untuk berekspresi yang dilindungi oleh undang-undang. Karenanya, ia mengatakan bahwa para mahasiswi bercadar tersebut bisa mencoba berdialog dengan memakai kerangka hak konstitusional, agar pihak kampus tidak perlu mengeluarkan kebijakan pelarangan cadar tersebut.
Ia juga mengatakan, pihaknya percaya jika pihak kampus tidak sepenuhnya mengatur soal pakaian. Namun, lebih pada pengendalian faham radikalisme.
Dari data per Agustus 2016, dari 421 kebijakan diskriminatif di Indonesia yang didokumentasikan Komnas Perempuan, sebanyak 333 kebijakan itu menyasar langsung kepada perempuan dan sebagiannya tentang aturan berbusana perempuan. Kebijakan itu, kata dia, terjadi baik di instansi pemerintah maupun ruang publik. Umumnya, dari kebijakan itu ada keharusan bagi perempuan mengenakan jilbab.
Kini, kalaupun ada pelarangan mengenakan jilbab ataupun cadar, ia mengatakan bahwa hal itu harus diletakkan dalam diskusi soal hak konstitusional perempuan. Pasalnya, busana biasa digunakan karena dasar keyakinan dan kenyamanan.
"Jadi itu ruang yang tidak bisa diintervensi seharusnya. Kita harus mencegah ada kebijakan yang mengatur soal busana perempuan," tambahnya.
Terkait rencana kebijakan ini, Azriana menambahkan bahwa pihaknya akan mengupayakan untuk berkomunikasi lebih lanjut dengan pihak UIN-Suka, supaya tidak ada kebijakan yang melarang atau mewajibkan busana tertentu kepada mahasiswa.