Sabtu 10 Mar 2018 12:36 WIB

HMI Minta UIN Kalijaga Buka Dialog dengan Mahasiswi

HMI menilai pemakaian cadar dalam pandangan Islam bukan bagian radikalisme.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengenakan cadar berada di kawasan kampus UIN Sunan Kalijaga, Sleman, Yogyakarta, Kamis (8/3).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengenakan cadar berada di kawasan kampus UIN Sunan Kalijaga, Sleman, Yogyakarta, Kamis (8/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Larangan penggunaan cadar bagi mahasiswi yang diterapkan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menuai reaksi dari berbagai pihak. Pelarangan cadar tersebut tak terlepas dari alasan pedagogis.

Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Sadam Al Jihad meminta pemerintah memberikan penjelasan kepada publik mengenai aturan hak warga negara dalam kebebasan beragama. "Menggunakan cadar merupakan hak setiap muslimah, segala hal yang berhubungan dengan aturan ini harus diberitahukan," ujarnya ketika dihubungi Republika di Jakarta, Sabtu (10/3).

Menurutnya, pemakaian cadar dalam pandangan Islam bukan bagian radikalisme. Sebab, sebagai warga negara Indonesia harus bisa menghargai perbedaan dalam simbol-simbol beragama.

"Cadar merupakan kebutuhan sebagian keyakninan setiap muslim," ucapnya.

photo
Mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengenakan cadar berada di kawasan kampus UIN Sunan Kalijaga, Sleman, Yogyakarta, Kamis (8/3).

Untuk itu, ia meminta UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dapat meninjau kembali kebijakan tersebut. Setidaknya, diperlukan ruang publik antara univeritas dan mahasiswa untuk menyelesaikan polemik tersebut.

"Perlu ada dialog, jangan ada justifikasi dalam islam, dan jangan sampai ada sebuah gerakan masif sehingga terjadi kekhawatiran," ungkapnya.

Baca juga, Mahasiswi Bercadar Menangis dan Mengadu ke Ustaz Abdul Somad

 

Menurutnya, dengan mengadakan ruang publik maka setidaknya akan menghasilkan kesepakatan yang sama-sama memberikan andil. Hal ini juga mencegah terjadi perluasan pelarangan cadar ke kampus lainnya.

"Maka itu dialog perlu dilakukan, ruang publik penting," ucapnya.

Sebelumnya, Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga, Sahiron Syamsuddin, mengungkapkan, pelarangan cadar tersebut tak terlepas dari alasan pedagogis. Menurut dia, jika mahasiswinya tetap menggunakan cadar di dalam kelas, para dosen tentu tidak bisa membimbingnya dengan baik dan pendidiknya tidak dapat mengenali wajah mahasiswinya.

"Kalau di kelas mereka pakai cadar, kan dosen tidak bisa menilai apakah yang datang di kelas itu memang mahasiswa atau bukan," ujar Sahiron saat dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (6/3).

Sahiron menuturkan, pemakaian cadar bagi kaum wanita itu sebenarnya juga masih diperdebatkan di kalangan ulama, apakah itu merupakan ajaran Islam atau tradisi Arab. Namun, mahasiswi yang bercadar di kampus tersebut rata-rata tidak membaur dengan mahasiswa lainnya.

"Mereka pada umumnya tidak membaur dengan mahasiswa-mahasiswa yang lain," ucap Ketua Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir se-Indonesia (AIAT) ini.

Dengan adanya pelarangan cadar ini, menurut Sahiron, rata-rata seluruh dosen UIN Suka setuju untuk diberlakukan. Jika mahasiswa tersebut tidak ingin dibina, mahasiswa tersebut akan diminta untuk pindah kampus.

"Sebagian besar setuju (dosen UIN Sunan Kalijaga). Tapi, ya mungkin ada juga sedikit yang tidak setuju," kata Sahiron.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement