REPUBLIKA.CO.ID, BUKITTINGGI -- Dosen Pendidikan Bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi Sumatra Barat Hayati Syafri ternyata masih menyambangi kampusnya setiap hari. Padahal dirinya mendapat sanksi berupa nihilnya jam mengajar yang ia dapat pada semester genap tahun akademik 2017/2018 ini.
Meski tak diizinkan mengajar, Hayati tetap datang ke kampus untuk sekadar mengisi absensi atau berdiskusi dengan beberapa mahasiswa dan mahasiswi. Baginya, selama statusnya masih sah sebagai tenaga pengajar di IAIN Bukittinggi, maka ia masih berhak menginjakkan kaki di lingkungan kampus dan berkomunikasi dengan civitas academika.
"Saya selama ini tetap ke kampus untuk mengisi absen dan melakukan beberapa hal lain. Kampus kan tidak memecat saya," ujar Hayati, Rabu (28/3).
Hayati mengaku, kedatangannya ke kampus memang sempat menarik perhatian mahasiswa dan mahasiswi yang ada. Apalagi sosoknya menjadi viral setelah kebijakan kampus yang dinilai sepihak membatasi penggunaan cadar di lingkungan akademik. Kisahnya terdengar hingga seantero negeri, bahkan membuat seorang Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mendatangi IAIN Bukittinggi untuk melihat kondisi di lapangan.
Meski Hayati sempat merasa ada jarak antara dirinya dan keluarganya di kampus IAIN Bukittinggi, namun ia tetap percaya diri menggunakan cadar. Hayati tetap meneguhkan komitmennya dalam menjalankan keyakinannya dalam beragama, meski sikap kampus saat ini tak kunjung melunak.
"Walau sempat ada rasa agak berjarak, tapi rasanya masih ada tautan hati yang masih ingin terajut dengan kawan di kampus. Alhamdulillah semakin nyaman saat ini," ujar Hayati.
Keperluannya di kampus memang cukup beragam. Hayati menuturkan, selain sekadar mengisi absensi, ia juga menyempatkan diri berkunjung ke ruang kerjanya di IAIN Bukittinggi untuk merampungkan sejumlah pekerjaan. Bila tak ada lagi hal penting yang dilakukan, Hayati memilih pulang ke rumah untuk merampungkan tugas di rumah sebagai seorang ibu dan istri.
"Atau kalau ada tugas atau pekerjaan dengan masyarakat, Ummi memilih langsung pulang. Kadang juga di ruang kerja saja di kampus," jelasnya.
Ummi Hayat, panggilan akrab Hayati di tengah mahasiswanya mengaku menerima banyak pertolongan dari kawan-kawan di kampusnya yang tidak menilainya secara sepihak. Dari mereka pula dirinya merasa tertolong di tengah suasana 'kikuk' akibat polemik yang bergulir hingga kini.
"Kawan-kawan banyak menolong, membantu dan juga menguatkan. Ternyata saya tidak sendiri," ujarnya.
Sampai saat ini Hayati masih berharap rektorat IAIN Bukittinggi memberikan ruang baginya untuk mempertahankan keyakinannya dalam ber-Islam. Hayati sadar, posisinya sebagai staf pengajar yang masih diakui IAIN Bukittinggi sekaligus menjadi 'korban' atas kebijakan pimpinanannya, membuatnya harus berhati-hati dalam bersikap.
Hayati berdiri di tengah konflik. Baginya, yang terpenting adalah adanya solusi yang meneduhkan masyarakat. Hayati ingin haknya sebagai muslimah untuk bercadar diberikan, sekaligus kampus tidak merasa diintervensi pihak luar.
"Saya tak ingin menjadi korek api dan minyak tanah. Saya ingin ada mediasi yang mewakili saya sebagai korban sekaligus masyarakat yang menaruh harapan besar kepada kampus," katanya.
Rencananya, pekan ini akan diadakan dialog lanjutan antara perwakilan organisasi masyarakat (ormas) Islam dengan pihak kampus. Kalau jadi dilakukan, maka dialog ini merupakan yang kedua kali, melanjutkan dialog pertama pekan lalu. Dialog sebelumnya belum menemukan kata sepakat antara kedua pihak, terkait kebijakan pembatasan cadar oleh IAIN Bukittinggi.
Sekretaris Jenderal GNPF-Ulama Bukittinggi dan Agam, Ridho Abu Muhammad, menyebutkan belum ada kepastian kapan dialog dengan pihak kampus bisa dilakukan. Pihaknya kini masih merampungkan poin-poin apa saja yang akan diusung dalam mediasi dengan kampus, selain yang utama adalah desakan bagi kampus untuk mengizinkan cadar dikenakan di lingkungan akademik.
"Teman-teman yang diutus untuk berdialog belum memberi konfirmasi terkait pertemuan dengan mediator," jelas Ridho.