REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ojek daring atau online maupun konvensional tidak perlu diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal itu diungkapkan peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Wiratno Wiranto Wibowo.
"Tidak perlu diatur karena memang dia bukan moda yang layak sebagai angkutan umum," kata Wiratno saat ditemui di Kantor Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Senin (2/4).
Mengacu standar minimal angkutan umum, menurut dia, ada dua aspek yang sulit dipenuhi oleh ojek yakni tingkat keselamatan dan kapasitas mengangkut penumpang.
"Dipandang dari aspek keselamatan saja, misalnya dia tidak dilengkapi dengan cover atau pelindung sehingga benturan langsung dari sisi kanan, kiri, dan atas bisa saja terjadi pada penumpang. Sedangkan sepeda motor juga hanya bisa memuat dua orang saja," kata dia.
Wiratno menyebut tidak adanya aturan langsung mengenai ojek online atau konvensional bukan berarti pemerintah selama ini sepenuhnya melegalkan kendaraan roda dua sebagai angkutan umum.
Kendati demikian, ia memaklumi sikap pemerintah yang belum bisa melarang penggunaan sepeda motor sebagai moda angkutan umum karena masih adanya keterbatasan dalam penyediaan fasilitas transportasi yang memadai bagi masyarakat.
"Dikatakan terbatas karena sampai sekarang memang sistem jaringan angkutan umum kita belum mampu memberikan sistem layanan jasa door to door," kata dia.
Dahulu, ojek hanya diperuntukkan sebagai sarana transportasi paratransit yang tidak terikat trayek sehingga hanya mengisi simpul-simpul yang tidak bisa dijangkau angkutan umum. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi berbasis online kemampuan masyarakat mengakses layanan bisa antarwilayah.
"Oleh sebab itu ya memang serba salah. Atau sebaiknya status quo seperti ini saja dari pada harus melarang mereka secara tegas," kata dia.