REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persentuhan Ibn Jazla dengan bidang kedokteran tak lepas dari berkembang pesatnya tradisi ilmu pengetahuan di dunia Islam. Setelah berdirinya Dinasti Abbasiyah pada abad ke-8 yang berpusat di Kota Baghdad, kota tersebut menggeliat sebagai pusat ilmu pengetahuan. Khalifah Harun Al Rasyid mendorong penerjemahan teks-teks medis, terutama dari Yunani ke dalam bahasa Arab.
Ini memperkaya perkembangan ilmu pengetahuan di Baghdad, termasuk bagi Ibn Jazla, dalam mengembangkan kariernya sebagai dokter dan menulis karyanya. Menurut pakar sejarah tentang pe ngaruh Islam di Eropa, Profesor Charles Burnett, dari Warburg Institute, University of London, pada akhir abad ke-10 teks-teks Yunani mengalami percampuran dengan ilmu-ilmu yang lahir di dunia Islam.
Pada masa selanjutnya, ilmu yang dikembangkan di dunia Islam memberikan pengaruhnya tak hanya di wilayah sendiri, tetapi juga ke Barat. Dokter-dokter Muslim mampu mengembangkan secara mandiri ilmu pengetahuan kedokterannya. Bahkan, mereka melontarkan ba nyak ide yang sama sekali baru dan ori sinal. Buktinya, Jazla menuliskan karya-karya yang kemudian diterje mah kan ke bahasa Latin. Pada abad ke-11, ujar Burnett, perkembangan ilmu ke dok teran tak hanya berkutat di Baghdad.
Namun, ilmu kedokteran juga tumbuh pesat di Kairouan, Tunisia. Di sana, ada Constantine the African yang mulai melakukan perjalanan ke Sisilia dan Salerno, Italia. Di Italia, untuk pertama kalinya, Constantine the African memperkenalkan pengobatan Arab ke Barat. Apa yang diajarkan oleh Constantine menggantikan teks-teks Yunani yang sebelumnya menjadi rujukan.
Ia telah memberikan kontribusi besar bagi perkembangan pengobatan di Italia. Bahkan, pengaruh ini berlangsung begitu lama. Di Inggris, misalnya, pada awal abad ke-18, muncul ketertarikan terhadap praktik pengobatan yang berkembang di Timur. Salah satunya adalah praktik inokulasi yang digunakan untuk meng atasi penyakit cacar.