REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara yang terletak di timur laut Afrika ini termasuk salah satu negara termiskin di dunia. Padahal, siapapun tahu, Sudan sebenarnya punya sumber daya yang sangat besar yang bisa menggerakkan roda perekonomian.
Sebagian wilayahnya terbilang subur. Sudan pun memiliki komoditas yang bisa diandalkan pada bidang pertanian, perkebunan maupun peternakan. Di samping itu, negara yang resminya bernama Republik Sudan ini, menyimpan sumber daya alam dan mineral berlimpah.
Potensi bahan tambang emas, bijih besi, dan tembaga, ditaksir cukup besar. Pun cadangan minyak bumi, mencapai 631 juta barel, yang pertama kali ditemukan di wilayah selatan tahun 1979, demikian pula gas alamnya.
Namun pertanyaannya, mengapa potensi yang besar itu belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat? Ada beragam jawaban, tetapi salah satu penyebab utama adalah negara ini tak henti dilanda konflik dan pertikaian internal.
Sejarah mencatat, sejak merdeka dari Inggris pada 1 Januari 1956, negara terbesar di Afrika itu telah mulai berjibaku dengan pertikaian, mulai dari perebutan kekuasaan, hingga konflik berbau SARA.
Bahkan bila ditilik lebih ke belakang, pertikaian telah mengharu biru Sudan sejak ribuan tahun silam. Diawali ketika Raja Aksum dari Ethiopia, menghancurkan ibu kota Kerajaan Kush, Meroe.
Konflik membuat pemerintahan tak kunjung stabil. Salah satu pertikaian paling hebat yakni yang terjadi antara pemerintah pusat yang berada di Khartoum di Sudan Utara, dengan kelompok-kelompok etnis di selatan.
Sudan Utara merupakan wilayah mayoritas Muslim. Sebagian penduduknya keturunan Arab. Sementara di selatan, didominasi warga etnis kulit hitam, beragam suku, yang sebagian beragama non Muslim.
Memang, seperti halnya negara-negara di Afrika, Sudan terdiri dari beragam etnis, suku, budaya, wilayah, agama dan kepercayaan. Tidak ada etnis yang dominan. Oleh karenanya, pemerintah berketetapan untuk mempersatukan perbedaan ini dengan penerapan syariat Islam.
Tak hanya itu, syariat Islam dipilih karena dianggap mampu menghadirkan stabilitas, tata kelola, serta pertumbuhan. Presiden Umar al-Bashir yang terpilih sejak tahun 1989 pun berkomitmen untuk mempertahankan perundang-undangan Islam dan menentang seruan yang menginginkan Sudan menjadi negara sekuler.
Hanya saja, akibat pengaruh luar, muncul benih-benih konflik, terutama menyangkut pengelolaan sumber daya alam. Satu juta warga selatan menginginkan kontrol penuh terhadap sumber daya alam di sana, di samping juga diwarnai motif-motif berbau sektarian.
Didukung pihak asing, wilayah selatan menentang pemerintah di utara. Mereka mengobarkan pemberontakan serta meminta kemerdekaan bagi Sudan Selatan. Sejak itulah, pecah konflik berdarah dan berkepanjangan, yang sampai kini sudah berjalan 21 tahun.
Pengaruh asing tampaknya tidak bisa dikesampingkan dari akar konflik . Ada dua motif utama. Pertama, mereka ingin menikmati sumber daya alam Sudan, dan kedua, melemahkan posisi Sudan sebagai salah satu negara di Afrika yang menerapkan syariat Islam.
Negara-negara asing, termasuk Israel, was-was melihat semakin kokohnya syariat Islam di negara berpenduduk 42 juta jiwa ini. Mereka khawatir, jika Sudan bangkit, bakal bertambah negara Islam yang tak gentar terhadap dominasi asing.
Maka itulah, Sudan terus berupaya dilemahkan. Penggunaan kekuatan militer, masuk dalam pertimbangan, akan tetapi urung dilaksanakan karena dapat membawa konsekuensi yang besar.
Satu-satunya cara bisa ditempuh, dan dinilai paling efektif, adalah memercikkan api konflik internal. Momentum itu salah satunya dengan memanfaatkan kekecewaan warga selatan tadi.
Adanya skenario ini pernah dikonfirmasi Mendagri Israel Avraham 'Avi' Dichter. Kepada salah satu media Israel, pada Oktober 2008 silam, dia membeberkan motif di balik krisis Sudan, yakni dengan mengobarkan perang sipil.
Menurutnya, Sudan memiliki sumber daya alam melimpah, wilayah yang luas, dan jumlah penduduk yang banyak. Dia khawatir, Sudan bisa menjelma menjadi negara kuat, dan bisa melindungi negara-negara Arab lainnya.
''Sudan harus dipecah menjadi negara-negara kecil. Hal ini untuk menjamin dominasi kita terhadap kekayaan alam, sekaligus mengikis pengaruh Islam di sana,'' sambung Avi Dichter.
Apabila kekayaan alam mampu dikelola dengan baik dan dikuasai penuh oleh umat Islam, tentu akan menjadi modal penting bagi tumbuhnya kekuatan Sudan sehingga berpotensi mengancam kepentingan mereka di kawasan.
Sebagian kalangan menilai Sudan adalah negara kunci Islam di benua Afrika. Sudan juga berdaulat di sebagian laut Merah. Bila syariat Islam kian kuat, Sudan bisa menebarkan pengaruh Islam di negara-negara sekitar, semisal Kenya, Uganda, dan Kongo.
Negara-negara asing dan Zionis tidak ingin skenario ini terjadi, dan untuk itu Sudan perlu dilemahkan. Melalui kepanjangan tangan mereka di berbagai lapisan, gerakan melemahkan Islam terus digalang.
Di sisi lain, pemerintah tidak gentar terhadap tekanan-tekanan itu. Penasehat kepresidenan, Shalah Ghas, menyerang partai-partai oposisi yang ingin menghapus hukum Islam di Sudan. Dia mengatakan, kelompok oposisi ingin memanfaatkan momentum pemilu untuk mengampanyekan pembentukan negara sekuler.
Senada dengan pernyataan itu, Partai NCP yang berkoalisi dengan pemerintah, mengajak semua pihak waspada terhadap seruan dari kelompok tertentu yang ingin menghapuskan undang-undang Islam. Parta ini menegaskan dukungannya terhadap penerapan hukum Islam dan pengembangan Islam di sana.
Kalangan ulama meminta masyarakat Muslim Sudan untuk tidak ragu menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dia pun mengharapkan agar setiap pemimpin yang terpilih senantiasa berkomitmen melestarikan dan menjaga pemberlakuan syariat.
Diungkapkan ulama kharismatik Syaikh Abdullah Yusuf, saat ini Sudan menghadapi tekanan berkaitan dengan penerapan syariat Islam, akan tetapi dia meyakini masalah itu bisa diatasi bila segenap umat bersatu. Keyakinan itu kian kuat dengan dukungan dari sejumlah negara Islam yang menyerukan pemerintah Sudan agar melestarikan identitas Arab dan Islam.