REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Sapto Andika Candra/Jurnalis Republika
"Ada yang terkena duri? Coba lihat tangan dan kakinya, sebelum kita mulai belajar dengan berdoa."
Baru kali ini saya mendengar seorang guru mengawali aktivitas belajar mengajar dengan menanyakan 'nasib' anak didiknya, apakah terluka karena duri atau tidak. Biasanya di daerah mana pun di negeri ini, apalagi di kota-kota besar, kelas langsung dimulai dengan berdoa menurut agama dan keyakinan para murid. Namun sepertinya ada pengecualian di Dusun Ukra, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, yang termasuk dalam jajaran pulau terluar di Indonesia bagian barat. Di sini, di Sekolah Uma yang baru berdiri dua tahun sejak 2016, Ibu Guru Leperia (32 tahun) memilih mengucapkan kalimat sakti "Ada yang terkena duri?" setiap pagi saat membuka kelas.
Pertanyaan yang dilontarkan Leperia kepada murid-muridnya bukan tanpa alasan. Setiap pagi ia dan empat muridnya, bahkan jumlah muridnya lebih sedikit daripada 10 anak SD Muhammadiyah Gantong dalam kisah Laskar Pelangi, harus menyusuri kawasan hutan adat dari Dusun Gorottai di tepi Sungai Terekan hingga Dusun Ukra.
Jarak dari rumah mereka di Gorottai menuju bangunan sekolah baru di lereng Bukit Leusigoukgouk mungkin terbilang pendek, sekitar 3 km. Tapi jangan ditanya bagaimana kondisi medan yang harus dilalui. Bila hujan deras mengguyur kampung mereka malam sebelumnya, bisa dipastikan jalur menuju sekolah menjadi 5 kali lebih sulit dibanding saat cuaca cerah.
Keempat murid Sekolah Uma Gorottai, yakni Theresia Ratna (10 tahun), Antonius (10 tahun), Klara Marsalina (8 tahun), dan Paulus (7 tahun) harus rela menyusuri jalanan berlumpur selama kurang lebih 45 menit hingga 1 jam sampai tiba di sekolah mereka. Tapi lumpur bukan satu-satunya tantangan yang harus ditaklukkan. Di jalan, keempat bocah dengan semangat luar biasa itu harus menghindari ranting pohon berduri, sisa-sisa durian hutan yang kadang jatuh di tengah jalan, dan menyeberangi dua 'danau kecil dadakan' yang merintangi perjalanan. Belum lagi Sungai Terekan selebar 12 meter yang sebelumnya mereka seberangi dengan perahu kayu.
Sulitnya medan dan berbagai risiko yang mengadang di perjalanan itu lah, yang membuat Leperia selalu menanyakan kondisi keempat muridnya setiap mengawali aktivitas belajar. Bagi Leperia, dirinya bertanggung jawab penuh atas keempat muridnya selama perjalanan menuju dan pulang sekolah. Bahkan demi menyiasati kondisi medan, Leperia meminta murid-muridnya menyimpan seragam sekolah mereka di dalam tas saat berangkat menuju sekolah. Baru setelah seluruhnya tiba dengan selamat di sekolah, baik Ratna, Klara, Antonius, dan Paulus, mengganti pakaian mereka dengan seragam sekolah.
Begitu lah secuil rutinitas pagi hari bagi keempat murid Sekolah Uma Gorottai dan Leperia, guru honorer yang direkrut oleh Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM). Sudah dua tahun ini Leperia mengajar anak-anak yang 'tersisa' di Gorottai. Sekolah Uma Gorottai sendiri dibangun YCMM melalui izin Dinas Pendidikan Mentawai, setelah sekolah yang lama terpaksa dibubarkan lantara kekurangan murid. Laju penyusutan murid juga dibarengi dengan gelombang perpindahan sejumlah penduduk asli Gorottai menuju dusun-dusun lain yang lebih dekat dengan ibu kota kecamatan.
Kini, Leperia bersama YCMM sedang memperjuangkan keempat muridnya untuk memiliki Nomor Induk Siswa Nasional (NISN). Nomor ini sekaligus berfungsi sebagai legalitas bagi keempat murid untuk mengikuti Ujian Nasional. Rencananya, Ratna dan Antonius akan diikutkan Ujian Nasional di SD Negeri Sirilanggai saat keduanya duduk di kelas 6 nanti. Desa Sirilanggai baru bisa dicapai dengan menempuh 1 jam perjalanan menggunakan perahu kayu.
Berbagai tantangan yang dihadapi Leperia untuk menuntaskan hak pendidikan bagi anak-anak Gorottai tidak sedikit. Namun ia yakin, satu per satu ganjalan bisa diselesaikan selama masih ada pihak yang peduli. Leperia rela digaji kecil demi memastikan anak didiknya mendapat pendidikan yang semestinya. Ia bahkan sempat menyisihkan honornya untuk melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka.
"Kalau bukan saya siapa lagi yang mau mengajar di lokasi sejauh ini? Yang penting anak-anak memperoleh pendidikan yang layak. Saya juga masih mengasah mimpi untuk memperoleh gelar sarjana," ujar Leperia.
Pemerintah setempat sebetulnya tak tinggal diam mengetahui tantangan yang adai di Gorottai. Camat Siberut Barat, Jop Sirirui, menyebutkan bahwa dirinya ikut terlibat dalam pendirian Sekolah Uma Gorottai. Pemerintah memandang bahwa anak-anak di Gorottai, meski sedikit, tetap memilik hak yang sama dalam mengakses fasilitas pendidikan. Meski pendirian sekolah formal tak mudah, apalagi dengan jumlah murid yang minim, masalah ini bisa disiasati dengan pendirian 'Sekolah Uma'.
"Kami melihat ada niat baik dari YCMM untuk membantu penduduk Gorottai. Akhirnya kami beri kesempatan bagi mereka untuk membangun sekolah di sana. Soal ujian, anak-anak bisa digabungkan sementara ke SD terdekat," kata Jop.
Sementara itu, Koordinator Divisi Pendidikan dan Budaya YCMM, Tarida Hernawati menuturkan bahwa perjuangan mendirikan sekolah baru sudah dimulai sejak Juni 2016. Ia menuturkan, pendirian sekolah sudah sesuai dengan prosedur berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 72 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus. Artinya, meski muridnya hanya 4 anak, mereka tetap berhak mengakses pendidikan.
"Setiap anak Indonesia mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Dan hal itu menjadi tanggung jawab pemerintah," ujar Tarida.
Secara bertahap, Tarida yakin tantangan pendidikan di Gorottai dan Ukra bisa diatasi. Apalagi seluruh warga Gorottai yang hanya terdiri dari 13 keluarga bersedia pindah ke lokasi permukiman baru di Dusun Ukra, satu kawasan dengan bangunan sekolah yang baru. Dari Dusun Ukra, pemerintah juga berencana membangun akses jalan menuju Desa Sirilanggai. Bila rencana ini terwujud, maka warga Gorottai akan lebih mudah memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Wakil Gubernur Sumatra Barat Nasrul Abit menilai, pembangunan infrastruktur jalan menjadi kunci terwujudnya keadilan ekonomi, sosial, dan pendidikan bagi masyarakat Mentawai. Bila infrastruktur jalan memadai, menurutnya, fasilitas pendidikan dan kesehatan bisa lebih mudah untuk diakses masyarakat.
Menjawab tantangan ini, Pemprov Sumatra Barat berkomitmen untuk melanjutkan sejumlah program pembangunan infrastruktur jalan di tahun 2018, baik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2018, atau dimasukkan dalam Rancangan APBD 2019 mendatang.
Menghadirkan kesempatan yang sama bagi anak-anak bangsa untuk tetap bersekolah di lokasi-lokasi tersulit di pelosok negeri ini, memang bukan perkara mudah. Akses jalan yang belum mulus sepenuhnya, medan yang berat, infrastruktur telekomunikasi yang terbatas, sampai fasilitas sekolah yang minim, menyodorkan tantangan bagi pemerintah dalam menegakkan keadilan di sektor pendidikan. Tapi berbagai kendala itu bukannya dibiarkan begitu saja.
Pemerintah ikut menggandeng semua pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat hingga swasta untuk ikut memutar otak dan berdaya dalam membangun infrastruktur pendidikan di titik-titik perbatasan, termasuk pulau-pulau terluar Indonesia. Bahkan di beberapa kasus, seperti di Mentawai, lembaga-lembaga independen yang lebih paham sulitnya lapangan memilih bergerak lebih dulu untuk merajut solusi.
Meski tetap, pemerintah sebagai penyusun regulasi, ikut turun tangan bergerak bersama mencerdaskan bangsa. Sebetulnya tak masalah siapa dulu yang bergerak dalam mengurai kusut tantangan, apakah pemerintah, lembaga mandiri, atau organisasi masyarakat. Toh pada akhirnya, seluruh elemen harus berjalan bersama untuk menjaga semangat anak-anak Indonesia. Terpenting, kesempatan bersekolah terus diupayakan di lokasi-lokasi tersulit sekalipun.