REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi abdi pendidikan memang memiliki kenikmatan tersendiri bagi mereka yang mencintai pendidikan tulus dari dalam hati. Tak peduli meski tantangan selalu datang silih berganti.
Siti Asiyam adalah perempuan paruh baya asal pedalaman Kabupaten Tulang Bawang Barat. Ia mengabdikan diri demi membersamai anak didiknya meraih mimpi.
Bunda, begitulah anak-anak memanggilnya. Ia bukan pegawai negeri sipil yang tiap bulan bisa mengandalkan gaji. Ia hanya warga biasa, yang dipercaya masyarakat untuk mendidik anak-anak di sana.
Sudah satu dasawarsa Ibu tiga anak tersebut menjadi guru di PAUD Suway Umpu, sebuah sekolah PAUD yang berada di bekas kawasan Hutan Tanaman Industri yang ada di Tulang Bawang Barat, Lampung. Masyarakat di sana menyebutnya HTI, sebuah dusun yang terpisah jauh dari desa lainnya, bahkan dengan desa induknya.
Perempuan yang lahir di Madiun 43 tahun silam tersebut bukan hanya sebagai guru, tapi juga sebagai kepala sekolah. Tentu saja tak mudah mengelola sebuah sekolah hasil swadaya masyarakat. Kini sudah sepuluh tahun ia mengabdi.
Di usia yang tak lagi muda, Ia masih terlihat semangat dalam membimbing anak didiknya. Usianya boleh saja menua, tapi semangatnya tak pernah tua. Dan berkat perjuangannya, sekitar 152 anak telah berhasil diluluskannya.
Siti Asiyam adalah potret guru yang tak mudah menyerah dengan keadaan. Meski kondisi bangunan sekolahnya memprihatinkan, dengan dinding yang masih terbuat dari papan, ia tak menganggap itu sebagai halangan.
Minimnya fasilitas pembelajaran yang ada, justru mampu mengasah kreativitasnya. Sebagian besar media pembelajaran yang ia gunakan, adalah hasil karyanya yang memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar.
Mengajar adalah hobi, barangkali itu yang menyebabkan Siti Asiyam begitu menyenangi pekerjaannya. Latar belakang pendidikannya bukanlah seorang guru. Ia hanya lulusan SLTA, yang hatinya terpanggil untuk menjadi seorang guru.
Maka benarlah bahwa menjadi guru itu adalah panggilan hati, bukan semata-mata profesi.
Meski Ia hanya lulusan SLTA, bukan berarti kualitasnya biasa-biasa saja. Justru sebaliknya, berkat ketekunannya dalam mengupgrade potensinya, ia tercatat sebagai Bunda PAUD berprestasi di wilayahnya.
Beberapa prestasi pun berhasil diraihnya, mulai dari juara 3 lomba mendongeng tingkat kabupaten, menjadi perwakilan untuk mengikuti pelatihan guru di tingkat provinsi, hingga mewakili Provinsi Lampung dalam kegiatan Porseni.
Namun demikian, tantangan yang dihadapi oleh Siti Asiyam tidaklah mudah. Mulai dari keterlibatan orangtua yang masih cukup rendah, hingga kondisi lingkungan yang tak jarang mendatangkan masalah. Bahkan, sudah dua kali kotak amal yang ada di kelas dibongkar saat tak ada orang di sekolah.
Jika bukan karena niat tulus mendidik murid-muridnya, barangkali sudah dari dulu ia menyerah.
Belum lagi jika berbicara masalah upah. Selama sepuluh tahun mengajar, belum pernah sekalipun ia menerima gaji dari pemerintah.
Untuk gaji bulanan, ia hanya mengambil sedikit dari iuran orangtua, yang barangkali hanya cukup untuk menganti biaya transportasi. Sungguh pengabdian yang minim apresiasi.
Siti Asiyam adalah contoh nyata Kartini masa kini. Ia hidup bukan sekadar untuk dirinya sendiri, meski kadang harus mengesampingkan urusan diri sendiri. Tak jarang ia harus merogoh kantong pribadi, demi keberlangsungan hidup sekolah yang ia cintai.
Atas semua apa yang sudah dilakukan, sudah selayaknya ia disebut sebagai pahlawan. Pahlawan bagi anak-anak di pedalaman dalam mengejar impian.