Rabu 25 Apr 2018 22:33 WIB

Sesepuh Pesantren Buntet Cirebon Wafat

Mbah Din menjalani masa kritisnya selama beberapa hari terakhir.

Red: EH Ismail
KH Nahduddin Royandi Abbas (Mbah Din, tengah berpeci hitam) saat bersilaturahim dengan Majelis Ilmu dan Dzikir Sembilan Bintang Masjid Islamadina di Buntet Pesantren, April 2017.
Foto: Republika/EH Ismail
KH Nahduddin Royandi Abbas (Mbah Din, tengah berpeci hitam) saat bersilaturahim dengan Majelis Ilmu dan Dzikir Sembilan Bintang Masjid Islamadina di Buntet Pesantren, April 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kabar duka datang dari Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat. Sesepuh Pondok Pesantren Buntet KH Nahduddin Royandi Abbas (Mbah Din) mengembuskan nafas terakhirnya di London, Inggris, Rabu (25/4).

“Beliau memang sudah dirawat intensif di Inggris hampir satu bulan. Mohon doa dan dibukakan maaf kepada semua kenalan beliau. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” kata salah satu keponakan Mbah Din, Fathi Royyani, kepada Republika.co.id, Rabu (25/4) malam.

Menurut Fathi, Mbah Din adalah putra terakhir sang pahlawan 10 November, Kiai Abbas bin Abdul Jamil yang juga salah seorang ulama legendaris Nahdlatul Ulama (NU). Sebelum wafat, Kiai berusia 84 tahun itu memang telah dirawat intensif di Barnet Community Hospital. Mbah Din menjalani masa kritisnya selama beberapa hari terakhir.

“Insya Allah, Sabtu (28/4) besok akan dimakamkan di Buntet. Ini sedang diurus kepulangannya dari sana,” ujar Fathi.

Dalam situs resmi Pesantren Buntet disebutkan, setelah ditinggal wafat sang kakak, KH Abdullah Abbas, Mbah Din diamanahi menjadi pengasuh Pesantren Buntet pada 2008 silam. Putra ke tujuh dari tujuh bersaudara ini memang kurang dikenal karena perjalanan hidupnya lebih banyak dihabiskan di luar negeri.

Sejak 1954, saat usianya masih 18 tahun, dia sudah berangkat ke Arab Saudi untuk menimba ilmu agama. Di antara guru-gurunya adalah Syeikh Yasin Padang dan Syeikh Hamid al Banjari. Di negeri kaya minyak itu, Mbah Din tinggal selama lima tahun.

Selanjutnya, mulai 1959 ketika usianya menginjak 23 tahun, ia pergi ke London, Inggris untuk bekerja sebagai diplomat RI.

Mbah Din juga sempat bekerja di PT Aneka Tambang. Di kota yang dialiri sungai Thames ini, dakwah Islam tak pernah ditinggalkan, terutama kepada Muslim warga negara Indonesia yang tinggal di sana. Ia juga menjadi rais syuriyah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU United Kingdom (UK).

“Seandainya masih ada yang lain, saya tak mau menduduki posisi kakak saya di pesantren ini,” kata Mbah Din merendah seusai ditunjuk menjadi pengasuh pondok, sepuluh tahun lalu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement