REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menilai, dukungan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terhadap Prabowo Subianto tidak berpengaruh besar terhadap elektabilitasnya jelang Pilpres 2019. Sebab, KSPI cenderung terfragmentasi, di mana terdiri dari sekian banyak buruh dan kepentingan berbeda.
Adi menjelaskan, dukungan KSPI merupakan bentuk ekspresi ketidakpuasan mereka terhadap Perpres Tenaga Kerja Asing (TKA) yang diteken Jokowi. "KSPI melihat Prabowo sebagai capres yang berada di oposisi dan dianggap bisa diharapkan untuk mengatasi permasalahan buruh," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (2/5).
Dukungan KSPI dianggap sebagai tindakan masuk akal. Sebab, sejauh ini, belum ada alternatif dukungan atau calon presiden yang dapat menyuarakan suara buruh selain Prabowo. Tapi, dukungan ini baru bermakna bagi Prabowo jika ia mampu mengkapitalisasi tingkat ketidakpuasan buruh yang tidak bisa dilakukan oleh Jokowi.
Atas dukungan ini, KSPI meminta kepada Prabowo apabila terpilih sebagai presiden di 2019 mengangkat Presiden KSPI Said Iqbal sebagai menteri tenaga kerja (menaker). Adi melihat permintaan ini sebagai ekspektasi yang tinggi dan jauh.
"Harusnya, KSPI berdiri tegak dan istiqamah dalam komitmen mereka, yakni memperbaiki kesejahteraan buruh terlebih dahulu," ucap direktur eksekutif Parameter Politik Indonesia tersebut.
Apabila terus memaksakan kehendak, tidak menutup kemungkinan citra buruk justru akan menempel pada KSPI. Alih-alih sebagai perkumpulan buruh, KSPI akan terkesan sebagai organisasi politik seperti partai politik.
Sebelumnya pada rangkaian peringatan Hari Buruh yang diselenggarakan KSPI di Istora Senayan, ribuan buruh menyatakan komitmennya mendukung Prabowo sebagai calon presiden 2019. KSPI menilai Prabowo memiliki kesamaan visi memperjuangkan nasib buruh yang saat ini semakin tersingkirkan, terutama dengan munculnya Perpres 20 tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) dan membanjirnya TKA asal Cina.