Ahad 06 May 2018 20:27 WIB

Alasan Lapan Ingin Satukan Kalender Islam Indonesia

Ada beberapa pertimbangan ilmiah merealisasikan penyatuan kalender Islam Indonesia.

Rep: Novita Intan/ Red: Ani Nursalikah
Thomas Djamaluddin Kepala Lapan
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Thomas Djamaluddin Kepala Lapan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan potensi perbedaan hari raya masih terbuka, kecuali Idul Fitri dan Idul Adha setelah1442 H/2021 M.

"Cita-cita besar mewujudkan sistem kalender Islam Indonesia semestinya menjadi cita-cita bersama bangsa Indonesia untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa," ujarnya ketika dihubungi Republika, Jakarta, Ahad (6/5).

Ia menjelaskan, ada beberapa pertimbangan ilmiah merealisasikan penyatuan kalender Islam Indonesia. Pertama, sistem kalender merupakan produk sains antariksa (astronomi) dari hasil pengamatan jangka panjang gerak benda-benda langit yang diformulasikan dalam rumusan posisi bulan dan matahari.

"Saat ini formulasi perhitungan astronomis tersebut telah disusun dalam berbagai perangkat lunak yang mudah diakses masyarakat," ucapnya.

Kedua, interpretasi sains bersifat umum, tidak bisa hanya berlaku untuk suatu kelompok. Maka, interpretasi data astronomis adalah bersifat global.

"Interpretasi sepihak yang tidak sesuai dengan kaidah sains, tidak boleh dianggap sebagai intepretasi sains astronomis," ujarnya.

Ketiga, sistem kalender yang mapan selalu mensyaratakan tiga hal utama, seperti ada otoritas tunggal yang menjaganya, ada kriteria tunggal yang disepakati, dan ada batas wilayah. Tiga syarat itu terpenuhi pada kalender internasional (masehi), walau awalnya tidak mempunyai otoritas dan kriteria yang tunggal.

Kalender Islam Indonesia belum bisa menjadi sistem kalender yang mapan sehingga berpotensi terjadi perbedaan keputusan. "Ini dikarenakan belum adanya otoritas dan kriteria tunggal meski batas wilayah NKRI secara umum sudah disepakati," jelasnya.

Keempat, kriteria kalender berdasarkan kaidah astronomi dengan acuan yang bisa diamati. Acuan itu dirumuskan dengan formulasi sederhana yang disepakati bersama. Ormas Islam, pengguna kalender, dan pemerintah didorong mengupayakan kesepakatan kriteria dari banyak pilihan kriteria yang ditawarkan astronomi.

"Perlunya ditetapkan kriteria tunggal untuk menjadi pedoman bersama juga telah dinyatakan dalam Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004," ucapnya.

Kelima, otoritas yang diakui secara global, yaitu pemerintah  lingkup nasional dan otoritas kolektif antarpemerintah untuk reginal atau global. Keenam, pada seminar internasional Fikih Falak telah dirumuskan Rekomendasi Jakarta 2017.

Isi rekomendasi, antara lain, kriteria masuknya awal bulan bila ketingguan bulan minimal tiga derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat dengan markaz Kawasan Barat Asia Tenggara. Batas tanggal yang digunakan adalah Garis Tanggal Internasional sehingga bisa menjadi kalender global dan otoritas global adalah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Thomas menyampaikan beberapa saran, antara lain Rekomendasi Jakarta 2017 menjadi rujukan implementasi rekomendasi Fatwa MUI agar kalender Islam menjadi kalender mapan dan bisa menjadi pedoman.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement