Selasa 22 May 2018 13:27 WIB

DMI: Penggunaan Pengeras Suara Masjid Sudah Tradisi

Keberatan datang dari masyarakat kota atau urban yang menerapkan pola hidup modern.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Andi Nur Aminah
Sekretaris Jenderal DMI Imam Addaruqutni 
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sekretaris Jenderal DMI Imam Addaruqutni 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengatakan penggunaan speaker atau pengeras suara di masjid sudah menjadi tradisi umat Islam di Indonesia. Terlebih, saat bulan Ramadhan dan perayaan Idul Fitri. "Dari Islam, itu sudah tradisi," kata Sekertaris Jenderal DMI Imam Addaruqutni kepada Republika.co.id, Selasa (22/5).

Menanggapi selebaran tentang anjuran penggunaan pengeras suara masjid, Imam mengatakan, selama ini tradisi penggunaan pengeras suara di pedesaan tak pernah menuai masalah. Menurut dia, keberatan datang dari masyarakat kota atau urban yang menerapkan pola hidup modern.

Ia mengatakan, kultur kehidupan masyarakat di perkotaan membutuhkan istirahat yang cukup. Dengan demikian, hal itu memengaruhi penggunaan pengeras suara masjid, yang sebenarnya sudah menjadi tradisi. "Tradisi itu mulai mengalami pola refleksi. Kalau sekarang ada pengaturan, lebih pada komentar yeng objektif, kalau larangan masyarakat lebih sulit," tutur dia.

Kendati demikian, ia mengingatkan, keberadaan pengeras suara di masjid sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat di perdesaan. Begitu juga bunyi-bunyian dari pengeras suara, malah dijadikan penanda waktu bagi masyarakat. "Malah kalau sepi, mereka merasa kehilangan sinyal atau tanda-tanda masjid. Kan biasanya orang kampung tak pakai jam," kata dia.

Sementara persoalan masyarakat urban, biasanya berhubungan dengan jam kerja dan waktu istirahat. Banyak yang merasa, butuh suasana hening atau tak ada suara gaduh. Sehingga, ketika ada suara pengeras suara masjid, efeknya ke sana.

Maka persoalannya jadi sensitif dalam beberapa hal soal agama. "Seolah-olah itu ada pengurangan demi pengurangan, (peran) pengeras suara masjid mulai dicampuri urusan kepentingan lain," tutur Imam.

Ia mengusulkan, perlu ada sosialisasi terhadap tuntutan masyarakat. Sehingga, tidak menimbulkan salah paham di lingkungan masyarakat. Sebab, persoalan ini adalah hal sensitif.

Selain itu, apabila ada pengaturan, jangan pernah menggunakan kata larangan, karena bisa menjadi masalah. Ia menjelaskan penggunaan pengeras suara pada Islam, tidak hanya soal kebutuhan primer. Namun, lebih pada persoalan rekomendasi atau sebaiknya.

"Jangan sampai terjadi distorsi hingga ada pandangan, ada campur tangan otoritas, politik, dan macam-macam yang mendegradasi kepentingan Islam. Kalau didiskusikan, persoalan urgensi menjadi persoalan substansi, lebih penting," kata Imam. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement