REPUBLIKA.CO.ID, RAQQA -- Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, warga Kota Raqqa di Suriah dapat menikmati bulan suci Ramadhan tanpa gangguan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Selama lebih dari tiga tahun, penduduk Raqqa menjadi sasaran interpretasi dari hukum ketat yang diterapkan oleh ISIS selama Ramadhan.
Puluhan ribu warga Raqqa telah kembali ke rumah mereka setelah ISIS berhasil diusir dari kota itu pada Oktober lalu. Setelah kepergian ISIS, mereka berharap bisa menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya pada bulan suci Ramadhan dengan lebih tenang.
Saat masih dikuasai ISIS, siapa pun yang tertangkap basah makan atau minum di Raqqa akan menjadi sasaran hukuman yang kejam. "Mereka yang tidak berpuasa dikunci di kandang besi di lapangan umum, di bawah terik matahari, dan di depan semua orang untuk dijadikan tontonan," ujar Hussein, seorang warga Raqqa, dikutip Arab News, Senin (21/5).
Hussein mengaku sangat bersemangat pada Ramadhan kali ini. Ia kembali melakukan kebiasaan lama dengan keluarganya, yaitu berkumpul untuk menonton serial drama yang disiarkan khusus selama Ramadhan. ISIS selama ini telah memblokir segala bentuk hiburan di televisi, yang dianggap bertentangan dengan agama.
"Kami merindukan tradisi Ramadhan ini. Selama empat tahun di bawah ISIS kami dilarang menonton serial ini," ungkap Hussein.
Kekalahan ISIS di Raqqa tentu masih menyisakan banyak masalah. Beberapa warga harus kehilangan nyawa karena terkena ledakan bom yang ditinggalkan oleh para militan dan belum sempat diledakkan.
Pertempuran antara ISIS dan pasukan koalisi pimpinan AS juga telah meratakan seluruh permukiman, sedangkan upaya pembangunan kembali berjalan dengan lambat. Banyak wilayah yang masih belum mendapatkan aliran listrik atau air yang mengalir dan hampir tidak ada pekerjaan bagi penduduk.
Masih banyak warga Raqqa yang tidak mampu membeli makanan untuk berbuka puasa. Di salah satu pasar, Huran al-Nachef, seorang warga asli Raqqa berusia 52 tahun, mengaku hanya bisa membeli beberapa tomat, mentimun, dan kentang untuk membuat sajian makanan sederhana. "Semua itu sangat mahal dan tidak ada pekerjaan," kata Nachef.
Anak-anaknya turut mencari pekerjaan sambilan setiap hari untuk mencoba memenuhi kebutuhan keluarga mereka. "Mereka yang memiliki uang dapat menyiapkan makanan untuk berbuka puasa, tetapi mereka yang miskin seperti saya menghadapi kesulitan," ungkapnya.
Nadia al-Saleh, penduduk lain, mendatangi sebuah toko roti yang ramai untuk membeli maarouk, kue yang di dalamnya terdapat biji wijen. Kue jenis ini ada di mana-mana selama Ramadhan.
"Kami membeli beberapa kue kering untuk membuat anak-anak senang, membuat mereka merasakan semangat Ramadhan," kata Saleh. "Kami masih tunawisma. Kami tinggal dengan orang lain, suami saya tidak punya pekerjaan. Situasi kami sangat sulit."
Akan tetapi, Hanif Abu Badih yang berprofesi sebagai tukang roti mengaku masih merasa optimistis. "Tidak ada perbandingan. Meski semua hancur, orang-orang sangat senang akhirnya mimpi buruk sudah berakhir," kata Abu Badih.
Di bawah kekuasaan ISIS, dia pernah dijatuhi hukuman 40 cambukan dan tiga hari kurungan penjara setelah salah satu karyawannya bersembunyi ketika ISIS mengumpulkan para pria untuk melakukan shalat wajib. Toko rotinya pun terpaksa ditutup selama dua pekan. "Tahun ini kami akan berpuasa tanpa ISIS. Kami akan hidup sesuai keinginan kami dengan kebebasan penuh," ujar Abu Badih. ¦ ed: yeyen rostiyani