Kamis 24 May 2018 13:30 WIB

LPSK Minta Anak Pelaku Bom Jangan Disebut Pelaku

Anak-anak terduga teroris harus tetap disebut sebagai korban.

Rep: Ronggo Astungkoro/RR Laeny Sulistyawati/ Red: Muhammad Hafil
Forum Anak Cakung bersama perwakilan KPAI, berikan bunga kepada anggota polisi di Polres Metro Jakarta Timur, kepada Wakapolres Metro Jakarta Timur mereka meminta agar polisi melindungi anak-anak dari doktrin terorisme, Sabtu (19/5).
Foto: Republika/Rahma Sulistya
Forum Anak Cakung bersama perwakilan KPAI, berikan bunga kepada anggota polisi di Polres Metro Jakarta Timur, kepada Wakapolres Metro Jakarta Timur mereka meminta agar polisi melindungi anak-anak dari doktrin terorisme, Sabtu (19/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo ingin anak-anak para pelaku terorisme yang turut tewas jangan ditetapkan sebagai pelaku. Menurutnya, dalam kondisi tersebut mereka juga merupakan korban dari apa yang orang tuanya lakukan.

"Untuk korban, korban anak-anak pelaku ini itu harus tetap ditetapkan sebagai korban, bukan pelaku. Karena yang bersangkutan bukan hanya korban ketika itu saja, tetapi sejak diasuh dengan keliru oleh orang tuanya," kata Hasto, Kamis (23/5).

Untuk anak yang selamat, tentunya akan menjadi saksi kunci dalam persidangan nantinya. LPSK menyediakan diri untuk memberikan perlindungan terhadap saksi, termasuk anak tersebut. Bila perlu, katanya, anak tersebut direlokasi.

"Supaya yang bersangkutan tumbuh kenyamanan, keamanan. Sehingga, bisa memberikan keterangan secara full," katanya.

Baca: Nasib Korban Teror Bom, Gagal Nikah, Hingga Usaha Bangkrut

Saat ini, mereka masih berada di pihak kepolisian sembari dilakukan rehabilitasi psikologisnya. Anak tersebut akan dicarikan wali karena anak itu sudah kehilangan kedua orang tuanya. Tentu, wali tersebut harus atas izin pihak yang berwenang.

"Tentu kita sebagai bagian dari institusi yang ikut menangani persoalan ini bisa memberikan masukan," katanya.

Dalam beberapa pekan ke belakang, terjadi serentetan aksi teror di beberapa lokasi di Indonesia. Bermula pada kerusuhan di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, berlanjut ke serangan teror bom bunuh diri di Surabaya yang dilakukan oleh satu keluarga dan menyasar tiga gereja di sana.

Selanjutnya, serangan bom bunuh diri kembali terjadi, kali ini di Mapolrestabes Surabaya. Kemudian, teror lagi-lagi terjadi di Sidoarjo, Mapolda Riau, dan terakhir di Jambi.

 

Jangan diasingkan

Ada beberapa anak-anak terduga pelaku terorisme yang selamat. Mereka yang diduga diajak oleh orang tuanya melaksanakan aksi teror, tidak ikut tewas seperti orang tuanya.

Anak-anak itu masih ada yang berusia dini, di bawah 10 tahun. Salah seorangnya tengah mendapat perawatan medis di rumah sakit. Negara dan masyarakat harus melindungi anak-anak itu agar tidak dikucilkan dan tidak terkena pemikiran radikal.

Ketua Bidang pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)  Reza Indragiri Amriel mencontohkan,  ada anak terduga teroris di Surabaya berusia delapan tahun yang sekarang harus mengalami trauma dan membutuhkan perlindungan khusus. "Dia  bukan satu-satunya anak yang membutuhkan perlindungan khusus itu. Ada sekian banyak anak lagi yang ayah mereka tewas dengan sebutan sebagai terduga teroris," ungkap Reza, Rabu (23/5).

Reza menerangkan, anak dan istri yang ditinggalkan oleh pelaku teror maupun terduga teroris kondisinya sangat memprihatinkan. Warga kata dia, biasanya akan menolak kehadiran mereka dan dicap sebagai keluarga teroris.

"Mereka kerap juga menerima sanksi sosial yang berat. Para yatim dan janda itu diusir dari tempat tinggal mereka dan dialienasi sedemikian rupa sehingga kesulitan mempertahankan hidup," jelasnya.

Hal tersebut kata dia, terjadi kepada keluarga yang orangtuanya benar-benar teroris maupun yang hanya berstatus terduga teroris. Oleh karena itu Reza berharap agar mereka yang bersatus terduga dapat segera diberikan kepastian untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kepada keluarga terduga teroris tersebut.

"Sesungguhnya masyarakat membutuhkan kepastian apakah orang tua mereka benar-benar teroris ataukah selama-lamanya berstatus sebagai orang yang diduga teroris," ujar Reza.

Baca: Layanan Psikososial untuk Korban Bom Terus Dilanjutkan

Seperti yang dijelaskan dalam pasal 59 UU Perlindungan Anak, bahwa anak-anak tidak boleh menjadi sasaran stigma, termasuk stigma akibat perbuatan orang tua mereka. Menurutnya, kesalahan yang dilakukan orang tuanya jangan kemudian dilimpahkan penuh kepada anak-anak tersebut.

"Selalim apa pun orang tua (terpidana teroris), anak-anak yang mereka lahirkan tidak sepantasnya menerima getah akibat teror yang diduga mereka perbuat. Hak-hak atau kepentingan-kepentingan terbaik anak-anak para terduga teroris sepatutnya tetap terpenuhi," ungkap dia.

Oleh karena itu, sambung Reza segala bentuk pengusiran dan pengasingan terhadap anak-anak terduga teroris merupakan pelanggaran serius terhadap UU Perlindungan Anak. Terlebih kata dia, ketika negara bersikukuh bahwa anak-anak terduga teroris disamakan dengan anak-anak teroris.

Reza mengaku khawatir jika anak-anak terduga teroris maupun terpidana teroris yang diasingkan di masyarakat justru membuat mereka kemudian memilih untuk menduplikasi perbuatan orangtuanya. Oleh karena itu tambahnya, untuk mencegah hal tersebut terjadi, negara harus mampu memberikan perlindungan dan pemantauan.

"Negara harus hadir. LPAI mendorong juga untuk dapat mengkoordinasi pendataan, pemantauan, dan pemberian perlindungan khusus kepada anak-anak teroris dan terduga teroris yang telah meninggal dunia," ucapnya.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement