REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai negara multikultural, Indonesia dihadapkan dengan banyak perbedaan baik dari perbedaan suku, adat, maupun agama. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang dakwah KH Cholil Nafis dalam ceramahnya menjelaskan, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak akan cukup untuk merangkul seluruh perbedaan yang ada.
"Pancasila bukan suatu agama atau suatu bentuk gerakan anti agama, tapi Pancasila adalah dasar negara yang merujuk pada agama,"kata Cholil Nafis saat memberikan kajian agama di Masjid Al-Hikam, Depok, belum lama ini.
Menurut dia, kombinasi sempurna dalam terbentuknya suatu negara yang kuat dan memiliki toleransi tinggi, harus juga didasari dengan agama. Berdasar pada perkataan Imam Al-Ghazali bawa agama adalah fondasi dan negara adalah penjaganya, maka sangat diperlukan keselarasan dari keduanya agar negara tetap kuat dan nyaman bagi warganya.
"Negara yang tidak dilandasi agama maka akan runtuh, begitu juga agama tanpa negara bagikan rumah tanpa penjaga sehingga tidak dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi penghuninya,"kata dia.
Merujuk pada masa-masa terbentuknya pemerintahan Islam pertama, Madinah, Rasulullah saat itu menggunakan nama Madinah yang berarti peradaban, dengan maksud agar pemerintahan tersebut dapat melahirkan peradaban Islam yang maju. Asas pemerintahan saat itu, bukan terfokus pada takhta atau jabatan, melainkan kesatuan dan kekompakan warganya untuk membentuk negara yang maju.
Negara pada hakikatnya bertugas untuk melindungi hak warganya, baik hak untuk hidup, memperoleh pekerjaan, kesejahteraan, maupun menjalankan perintah agama yang mereka anut. Mengambil perkataan Kiai Hasyim Muzadi, tentang prinsip keadilan suatu negara, yaitu keadilan hukum yang harus sama rata sama rasa, tapi keadilan ekonomi itu sama rasa tapi tak sama rata.
"Perbedaan ini disesuaikan dengan proporsinya masing-masing, baik sesuai kinerja kerja, kepandaian, dan aspek lainnya,"kata dia.
Patokan suatu negara yang dapat dikatakan makmur, yaitu saat seluruh komponen negara tersebut, baik warganya hingga alamnya dapat sejahtera. Sedangkan untuk mendapatkan kemakmuran tersebut, diperlukan adanya kebiasaan untuk selalu bersyukur dan memanfaatkan nikmat Allah SWT sebaik- baiknya tanpa berlebih-lebihan.
Jujur
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) menilai untuk menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya maka seseorang harus memiliki sifat jujur karena lewat kejujuran, seorang pemimpin akan meningkatkan kemampuan manajerial.
"Seorang pemimpin pun akan senantiasa membangun kelihaian berkomunikasi lewat kejujuran. Karena jujur akan membawa hati yang tulus. Berbagai kebaikan pangkalnya jujur. Jadi profesional dalam menjalankan kepemimpinan juga modalnya jujur," kata Aher dalam siaran persnya, Ahad (27/5).
Pernyataan Gubernur Jabar tersebut disampaikan kepada generasi muda saat dirinya menjadi pembicara dalam kegiatan Senja Safari Iman Ramadhan 1439 H, di Masjid Ulil Albab, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) Sleman.
Menurut dia, kejujuran akan membuka sifat, atau karakter kepemimpinan lainnya. Seperti antusiasme yang tulus, menularkan gairah bekerja, antusiasme terhadap suatu tujuan organisasi yang dipimpinnya.
Infografis
Dia mengatakan, kunci dari kepemimpinan adalah kejujuran. Kejujuran akan secara otomatis membawa kebaikan, dan kebaikan akan membimbing seorang menuju surga Allah Azza Wa Zala di akherat kelak.
"Hendaklah kalian berkomitmen dengan kejujuran. Kejujuran membimbing pada kebaikan, dan kebaikan membimbing kita pada surga," ujar Aher mengajak para pemuda yang hadir di majelis tersebut.
Ia menambahkan, dengan kejujuran, akan muncul sebuah integritas untuk bekerja secara benar dan penuh kesungguhan. Digabungkan dengan kemampuan komunikasi yang baik, hasilnya akan sangat dahsyat dalam menjalankan kepemimpinan.
"Pemimpin harus mau mendengarkan masukan, baik yang bernada halus maupun sarkastik. Terima saran dan masukan dari segala arah," katanya memberikan tips kesuksesan kepemimpinannya selama 10 tahun menjadi Gubernur Jawa Barat.
Pemimpin juga harus terus meningkatkan kompetensi manajerialnya. Dengan demikian, ia akan mampu memberdayakan bawahannya dengan optimal.
Peningkatan kemampuan bawahan akan memunculkan loyalitas yang bersifat timbal balik dan bila sudah muncul kepercayaan atasan pada bawahan dan sebaliknya loyalitas bawahan terbentuk, maka seorang pemimpin akan mampu memutuskan secara benar bila itu untuk kemasalahatan rakyat, dan berani mengambil segala risikonya atas keputusannya itu.
"Itulah yang akan memunculkan kharisma pada diri pemimpin. Seseorang akan hadir menjadi pemimpin yang berkarakter, dengan menunjukkan ketulusan sebagai citranya," ujarnya.