REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meyakini bahwa teknologi finansial (financial technology/ fintech) tidak berpotensi digunakan untuk tindak pencucian uang.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi menjelaskan, penggunaan fintech harus dilakukan melalui mekanisme perbankan kenali nasabah atau know your customer (KYC). Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, calon nasabah fintech harus memiliki rekening perbankan untuk registrasi rekening fintech.
"Artinya ketika buka rekening fintech, KYC sudah jalan. Kami tidak bisa mengatakan tidak mungkin terjadi, tapi rasa-rasanya sangat sulit terjadi pencucian uang dan pendanaan terorisme melalui peer to peer lending, karena tidak ada kegiatan yang terjadi di luar mekanisme sistem perbankan," ujar Hendrikus di Kantor OJK, Menara Radius Prawiro Kompleks Bank Indonesia, Senin (4/6).
Meskipun begitu, OJK menerapkan standard operational prosedur (SOP) untuk Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT). SOP tersebut merupakan salah satu dari 12 SOP yang diterapkan oleh OJK untuk fintech.
SOP lainnya antara lain SOP pinjam meminjam, penanganan risiko, penanganan ketika terjadi komplain nasabah, hingga SOP saat server fintech down. Apabila fintech yang mendaftar di OJK ada yang tidak memenuhi SOP yang diterapkan, maka berkas pengajuan perusahaan fintech tersebut akan ditolak.
"Dari 41 fintech yang dikembalikan berkas pendaftarannya, ada juga yang karena belum menerapkan SOP APU PPT. Itu penting sekali," ujar Hendrikus.
Berdasarkan data OJK, per April 2018 terdapat sebanyak 1,5 juta pengguna fintech. Dengan penyaluran dana sebesar Rp 5,5 triliun dari 54 perusahaan fintech yang terdaftar.
Baca: OJK Sebut Puluhan Perusahaan Fintech Belum Memitigasi Risiko