REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menegaskan penjelasan pihak pemerintah belum menjawab keberatan KPK soal masuknya delik korupsi dalam rancangan undang-undang revisi kitab undang-undang hukum pidana (RUU RKUHP). Menurut dia, usulan KPK terkait hal itu juga tidak diakomodir pihak pemerintah dalam RKUHP.
"Belum ada yang dijawab oleh pemerintah karena semua yang diusulkan oleh KPK itu belum ada yang dimasukkan satu pun. Apa yang diusulkan KPK tidak ada yang diakomodir oleh pemerintah," ujar Syarif saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, selepas pertemuan dengan DPR dan pemerintah, di Jakarta, Kamis (7/6).
Menurut Syarif, penjelasan pemerintah justru menimbulkan banyak penafsiran. Ia mencontohkan, ada beberapa pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga diatur dalam RKUHP.
Hal ini menimbulkan dualisme dan ketidakpastian hukum, meskipun disebutkan ketentuan lex specialis UU Tipikor tetap berlaku. "Kata mereka memperlakukan itu yang lex specialis UU Tipikor, tapi kan ada juga asas hukum lain bahwa (UU) yang baru itu bisa mengesampingkan (UU) yang lama. Itu menimbulkan dualisme," ujar Syarif.
Ia melanjutkan, keberatan KPK juga bukan hanya terkait kewenangan KPK dalam penanganan korupsi. Ia menilai, ketentuan tersebut juga akan menyulitkan kepolisan, jaksa, KPK, dan pengadilan dalam penanganan korupsi.
"Ini bukan soal kewenangan saja, tetapi soal norma hukum yang Anda lihat dalam pasal-pasalnya. Misalnya kalau kita mau menetapkan sesorang tersangka, pasal 2 pasal 3, ada di dalam RKUHP dan juga ada di UU Tipikor, terus kita mau dakwakan yang mana, yang di UU Tipikor apa yang di RKUHP," ujar Syarif.
Ia juga menilai alasan dimasukkan delik korupsi di KUHP karena untuk mengatur penanganan korupsi bagi kepolisian dan jaksa juga tidak masuk akal. Sebab, menurut dia, dengan UU Tipikor pun, aturan kewenangan kepolisian dan kejaksaan juga sudah ada.
"Waktu di UU Tipikor juga diatur polisi dan kejaksaan juga kan," ujarnya.
Karena itu, kata Syarif, KPK berencana menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membicarakan hal tersebut. "Itu mungkin yang kita bicarakan nanti dan kita bicarakan juga ke Presiden," kata Syarif.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkap rencana KPK yang ingin menghadap Presiden Jokowi. Dalam pertemuan tersebut, KPK ingin membahas delik tindak pidana korupsi yang dimasukkan dalam RUU RKUHP.
Menurut Agus, KPK masih dalam posisinya menolak delik tersebut diatur dalam RUU RKUHP. "Kita masih seperti dalam posisi itu ya, ya kita kalau diizinkan berkomunikasi dengan Bapak Presiden langsung ya," ujar Agus saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/6).