Jumat 08 Jun 2018 12:15 WIB

CRPG: Pasal dalam RUU SDA Perlu Disempurnakan

Bila melalui parameter HAM, AMDK bukan termasuk air minum.

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Air minum bagi penghuni.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Air minum bagi penghuni.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) melakukan kajian mengenai aspek-aspek krusial  dalam Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang akan di bahas di DPR. Hasil kajian tersebut kemudian secara bertahap dituangkan dalam bentuk Seri Kertas Kebijakan CRPG yang selanjutnya menjadi bahan masukan dalam proses penyusunan RUU SDA yang akan dibahas di DPR. 

Direktur CRPG Mohamad Mova Al’Afghani memaparkan, terdapat pasal-pasal dalam RUU Sumber Daya Air yang perlu disempurnakan, yaitu pasal 47 dan pasal 51. “Pasal 51 mengelompokkan air minum dalam kemasan (AMDK) ke dalam kelompok air minum yang jelas tidak tepat. Kita menguji penjelasan pasal 51 dengan 4 kriteria dan menyimpulkan bahwa AMDK tidak layak masuk dalam definisi layanan air minum. Kriteria tersebut adalah pandangan Mahkamah Konstitusi, parameter HAM, pendekatan teori regulasi, dan disinsentif bagi air perpipaan,” dikatakan Mova Al’Afghani berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (8/6)

Mahkamah Konstitusi menetapkan air minum tidak boleh mahal dan perusahaannya tidak boleh mengambil keuntungan. Bila merujuk pada parameter HAM, AMDK bukanlah air minum. Alasannya karena tidak memenuhi aspek kontinuitas, tidak memenuhi aspek keterjangkuan harga, tidak memenuhi aspek keterjangkauan fisik, serta tidak memenuhi aspek kuantitas.

Berdasarkan pendekatan teori regulasi, penetapan biaya air minum diatur oleh pemerintah. Sementara itu, AMDK ditentukan bebas oleh pihak swasta. Selain itu, terdapat juga konsekuensi negatif definisi air minum adalah AMDK, yaitu akan terjadi penurunan investasi untuk perpipaan dan peningkatan investasi untuk AMDK serta pertambahan sampah plastik.

Air bersih dan AMDK adalah dua hal yang berbeda. Di Indonesia, akses masyarakat terhadap air bersih disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). 

Namun, air PDAM yang mengalir ke rumah konsumen belum memenuhi kualitas air yang dapat langsung diminum. Akibatnya, pilihan air minum oleh masyarakat jatuh pada air tanah atau air PDAM yang dimasak atau mengkonsumsi AMDK. 

Dengan mendefinisikan air minum mencakup AMDK dan menyatukan pengaturannya dalam pasal-pasal mengenai pelayanan air, RUU SDA akan mengakibatkan masyarakat tidak memiliki pilihan dalam memenuhi kebutuhan air minum. Karena itu, AMDK seharusnya dicoret dari definisi air minum dan tidak diatur dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai pelayanan air. 

“RUU SDA selayaknya memperhatikan dengan saksama alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam pembatalan UU No 7/2004, antara lain soal hak rakyat atas air yang hendaknya dipahami sebagai hak mendapatkan akses air bersih guna menjalankan kehidupan sehari-hari yang layak, seperti mandi, makan, minum, memasak, mencuci, dan sanitasi. Di sinilah negara berkewajiban untuk menyediakan kebutuhan minimum masyarakat atas air bersih melalui SPAM. Karenanya pengelompokan AMDK dalam pengertian air minum dalam pasal 51 merupakan hal yang keliru,” ujar Mova.

Tim Kajian Publik APINDO Karina menyatakan, RUU SDA terkesan sarat kepentingan, yaitu industri terkesan harus memberi air dari pemerintah. Ia mengatakan tidak ada satu pun industri yang tidak memerlukan air sebagai bahan baku maupun kebutuhan air dalam proses produksi seperti kebutuhan air untuk pencucian di industri tekstil, pulp & paper, dan sawit.

Kebijakan ini mempersulit industri berkompetisi dengan produk-produk impor, sementara di sisi lain swasta didorong untuk ekspor. "Akibatnya, tekanan tidak hanya dari segi biaya energi, namun sekarang juga ditambah dengan biaya air sebagaimana diatur dalam RUU ini. Karena di luar pajak air, industri dikenakan lagi 10 persen untuk konservasi dan bank garansi. Pasal-pasal ini menurut saya harus dianulir,” kata Karina.

Pengajar Hidrologi dan Pengelolaan DAS Fakultas Kehutanan IPB Nana M Arifjaya mengatakan, RUU SDA lebih banyak mengatur hal-hal teknis, sementara materi yang bersifat berkelanjutan masih kurang. “Seharusnya pemerintah dapat membuat draf yang lebih bagus mengingat UU SDA ini bicara tentang konsep sustainability berkelanjutan. Memang bencana-bencana berkelanjutan, yang berkaitan dengan kekeringan, mengancam Indonesia," ucap dia. 

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang (UU) tentang Sumber Daya Air (SDA) Nomor 7 Tahun 2004 pada 18 Februari 2015.

Pada awal tahun 2017, DPR berinisiatif untuk menyusun rancangan undang-undang untuk mengatur tata kelola air yang diwujudkan berupa RUU Sumber Daya Air (SDA). Penyusunan RUU ini mengacu pada 6 prinsip dasar MK yang ditetapkan MK pada saat pembatalan UU SDA No 7 Tahun 2004. Selanjutnya, Kementerian PUPR berperan menjadi leading dalam pembahasan RUU SDA ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement