REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Hafil/Wartawan Republika.co.id
“Jangan lihat ke depan, semua balik badan menghadap ke belakang,” begitu teriakan pengemudi perahu pancung (Perahu dengan mesin tempel) yang mengangkut enam orang anggota relawan Kapal Ramadhan Aksi Cepat Tanggap (ACT) pada Ahad 3 Juni 2018 kemarin.
Perintah pengemudi dimaksudkan agar para relawan tidak melihat hal-hal yang menakutkan di depan perahu. Terutama, terkait dengan tingginya gelombang yang sedang dihadapi perahu.
Suasana begitu tegang. Ini disebabkan mesin perahu yang mengangkut 285 paket bantuan untuk masyarakat di Kampung Nisar, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, mati. Menurut keterangan pengemudi , tingginya ombak di laut menyebabkan air masuk ke dalam perahu dan menggenangi mesin.
Di dalam perahu, ada delapan orang yang terdiri dari enam anggota relawan, seorang pengemudi perahu dan asistennya. Mereka berangkat pada pukul 03.00 dini hari waktu setempat setelah menyantap sahur dari dermaga Nangali di Kecamatan Lembor.
Keberangkatan pada dini hari itu bukan tanpa sebab. Karena, gelombang laut menuju Kampung Nisar tergolong tinggi. Semakin siang, maka gelombang laut semakin tinggi. Namun, meski sudah berangkat sepagi itu, gelombang masih saja tinggi dan menyebabkan air masuk ke dalam perahu. Ini terjadi setelah 20 menit keberangkatan dari dermaga Nangali.
Mereka sekarang terombang-ambing di tengah lautan. Dingin, gelap, dan mencekam membuat para relawan tak banyak bicara karena sangat tegang. Satu orang relawan muntah-muntah karena ombak mengguncang-guncang perahu.
“Bagaimana ini Kapten? Apakah mesin masih bisa menyala dan mengantar kami menyerahkan bantuan ke Kampung Nisar?” tanya Muhammad Jakfar, PIC Distribusi Kapal Ramadhan untuk Kabupaten Manggarai Barat kepada pengemudi perahu.
“Mudah-mudahan bisa. Tolong bantu mengeluarkan air dari perahu, ada beberapa ember di sana!” perintah pengemudi kepada para relawan.
Jakfar yang menceritakan pengalamannya kepada Republika.co.id belum lama ini kemudian menceritakan, pengemudi memberi tanda seadanya dengan lampu senter. Tujuannya untuk mengabarkan bahwa mereka sedang dalam kondisi darurat. Beberapa saat kemudian, tiga perahu lain yang sedang melintas mencoba menghampiri. Namun, ketiganya tak berani mendekat karena tingginya gelombang.
“Kita balik saja Kapten, pulang. Nanti saja kita coba lagi,” kata Jakfar kepada pengemudi.
Permintaan itu tak dipenuhi. Pengemudi kapal lebih memilih saran dari awak ketiga perahu yang berteriak agar kapal tidak kembali pulang ke dermaga. Ini karena ombak sudah semakin tinggi.
Dengan sekuat tenaga, pengemudi dan asistennya serta para relawan bahu membahu mengeluarkan air dari perahu. Hasilnya, setelah lebih dari satu jam terombang-ambing, volume air di dalam kapal berkurang sehingga mesin bisa dinyalakan dan perjalanan kembali dilanjutkan.
Mereka mengucap Syukur kepada Allah. Selanjutnya, Shalat Subuh didirikan karena bagaimana pun ini adalah kewajiban sebagai seorang muslim. Mengingat keterbatasan tempat, shalat dilakukan secara bergantian. Mereka semua shalat dengan pakaian yang basah.
Penduduk yang tinggal di bukit-bukit turun ke pantai untuk menjemput bantuan dari Kapal Ramadhan ACT. Foto: Dokumen ACT
Jakfar melihat kemasan paket bantuan yang berisi berbagai macam kebutuhan pokok seperti gula, minyak, teh, dan beras rusak. Ini disebabkan karena basah terkena air laut yang masuk ke dalam kapal. Untungnya, isinya tidak ikut rusak.
Fajar mulai menyingsing dan menunjukkan daratan sudah dekat. Setelah empat jam mengarungi laut, para penumpang perahu akan tiba di Kampung Nisar. Namun, masalah kembali muncul. Kampung Nisar tidak memiliki dermaga. Selain itu, ombak ke arah pantai juga masih tinggi. Tidak ada tanda-tanda orang yang berada di pantai.
Perahu itu kemudian kembali terombang-ambing. Padahal, jarak dengan bibir pantai Kampung Nisar tinggal satu kilometer lagi. Akhirnya, asisten pengemudi dengan gagah berani turun dan berenang seorang diri menuju bibir pantai.
Dia mengabarkan kepada para penduduk Kampung Nisar bahwa perahu yang membawa bantuan dari Kapal Ramadhan ACT sudah sampai. Tak lama, akhirnya penduduk mulai berkumpul di pantai.
Mereka juga berinisiatif untuk mengambil paket bantuan dengan perahu tak bermesin yang mereka miliki ke perahu relawan. Selain itu, mereka juga membawa para relawan ke kampung.
Di pantai, warga berbondong dan saling membantu untuk menurunkan paket bantuan dari perahu. Setelah dikumpulkan di pantai dan relawan sudah tiba, barulah bantuan sebanyak 285 paket itu dibagikan secara rata untuk setiap kepala keluarga (KK). Jumlah itu sama dengan jumlah KK yang ada di Kampung Nisar.
“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga ke kampung ini untuk menyampaikan bantuan paket dari Kapal Ramadhan ACT yang merupakan bantuan dari para donator dan penyumbang,” kata Jakfar.
Daerah terpencil
Kampung Nisar merupakan satu dari lima titik kampung yang menjadi target Kapal Ramadhan ACT untuk diberikan bantuan untuk di Kabupaten Manggarai Barat. Berdasarkan pemetaan sebelumnya, Kampung Nisar sebenarnya tidak direkomendasikan oleh pemerintah daerah (pemda) setempat. Ini karena lokasinya yang sangat jauh dan sulit untuk dijangkau.
“Tapi justru ini target kita, memberikan bantuan kepada saudara-saudara kita di daerah yang sulit dijangkau,” kata Jakfar.
Butuh delapan jam perjalanan darat dari Kampung Nisar ke Dermaga Nangali, Kecamatan Lembor. Medannya pun tak seluruhnya bisa dicapai dengan kendaraan. Ada fase-fase tertentu menuju ke sana harus berjalan kaki karena daerah perbukitan yang belum dilalui jalan aspal. Sehingga, untuk memangkas waktu, pemda setempat menyarankan untuk menggunakan perahu jika ingin ke sana.
Kampung Nisar termasuk daerah yang masyarakatnya masih miskin. Ini bisa ditunjukkan dengan tak ada satupun di kampung itu yang memiliki rumah tembok. Seluruh rumah di sana terbuat dari bilik kayu dan beratap rumbia. Ukurannya pun sangat kecil. Satu rumah hanya terdiri dari satu ruang yang mencakup kamar dan juga tempat tidur. Hanya ada satu mushala di sana. Itu pun ukurannya juga kecil dan juga terbuat dari bilik kayu.
Di kampung ini juga sama sekali tidak ada warung. Karena itu, jika ingin membeli kebutuhan rumah tangga, mereka harus berjalan kaki satu hari sebelumnya ke pasar yang jauh dari Kampung Nisar.
Penduduk yang tinggal di bukit-bukit turun ke pantai untuk menjemput bantuan dari Kapal Ramadhan ACT. Foto: Dokumen ACT
Penduduk di Kampung Nisar umumnya berprofesi sebagai petani dan nelayan. Namun, umumnya hasil pertaniannya hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri, bukan untuk dijual. Karena, hasil panen di tempat ini hanya satu kali setahun.
Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, warga di sini berprofesi sebagai kuli pasir, tukang kayu, dan guru honorer. Hasilnya hanya cukup untuk membutuhi kebutuhan pokok mereka saja.
Menurut Jakfar, berdasarkan keterangan para penduduk, di kampung ini sama sekali tidak pernah mendapatkan bantuan dari lembaga-lembaga sosial. “Baru ACT yang pertama kali menembus ke tempat ini,” kata Jakfar mengutip pernyataan penduduk setempat.
Karena itulah, berdasarkan keterangan penduduk, Jakfar menyebut awalnya mereka tidak percaya akan ada lembaga sosial yang akan memberikan mereka bantuan. Terutama, saat bulan Ramadhan ini. “Tapi akhirnya kita membuktikan keragu-raguan mereka untuk memperoleh bantuan,” kata Jakfar.
Hal ini dibenarkan oleh sejumlah penduduk yang menerima paket bantuan. “Jujur saja kampung kami ini tidak pernah ada bantuan selain ACT. Mungkin karena kampung kami yang begitu terpencil dan kami berpikir untuk bantuan seperti ini tidak mungkin kami dapat,” kata Nining Hamidah, salah seorang warga.
M Jakfar, PIC Distribusi Bantuan Kapal Ramadhan ACT (Kiri), menyerahkan bantuan kepada salah seorang penduduk di Kampung Nizar di depan rumahnya. Rumah-rumah di Kampung Nisar semuanya terbuat dari bilik kayu dan beatap rumbia. Ini disebabkan karena penduduk di kampung itu tergolong miskin dan terpencil.
Nining sangat mengapresiasi relawan ACT yang mau berkunjung ke kampungnya. Apalagi, para relawan mau bersusah payah mencapai kampungnya. “Karena untuk memasuki kampung kami, relawan harus mempertaruhkan nyawa melewati lautan,” kata Nining.
Sedangkan Ismail, warga lainnya, berharap kampungnya bisa diprioritaskan untuk diberikan bantuan untuk waktu selanjutnya. “Terima kasih ACT atas bantuan paket pangan kapal ramadhan untuk kami masyarakat Nisar. Kami segenap masyarakat nisar berdo’a agar kedepannya kampung kami akan selalu diprioritaskan,” kata Ismail.
Terus dilanjutkan
Selain Kampung Nisar, tim relawan yang dipimpin oleh Jakfar juga menyalurkan bantuan ke empat titik kampung lainnya. Total, ada lima titik yang mendapatkan bantuan dari Kapal Ramadhan ACT di Kabupaten Manggarai Barat. Sementara secara umum, Kapal Ramadhan ACT memberikan bantuan ke tiga titik di Provinsi NTT. Yaitu, Labuan Bajo (Kabupaten Manggarai Barat), Kabupaten Alor, dan Kalabahi (Ibu kota Kabupaten Alor).
Kapal Ramadhan ini mulai berangkat pada 30 Mei 2018 dari Pelabuhan Garongkong, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Kapal ini tiba di Pelabuhan Labuan Bajo pada 1 Juni. Kemudian melanjutkan ke Alor dan Kalabahi. Misi ini secara umum selesai pada 7 Juni.
Saat berangkat dari Makassar, Kapal Ramadhan ACT membawa 10 ribu paket dan 100 orang relawan. Di setiap daerah yang disinggahi, tim membagi-bagikan bantuan paket ini.
Rinciannya di Labuan Bajo sekitar 3.200-an paket, Kalabahi sekitar 1.200-an paket, dan sisanya sekitar 5.000 paket disalurkan ke sejumlah kampung di Alor. Setiap paket berisi bahan-bahan kebutuhan pokok seperti gula, beras, dan minyak.
Senior Vice President of Group of Philanthropy and Communication ACT, Imam Akbari mengatakan, program Kapal Ramadhan merupakan bagian dari program Kapal Kemanusiaan ACT. Di mana sebelumnya, Kapal Kemanusiaan ACT sudah menyalurkan bantuan 1.000 ton beras Indonesia unuk pengungsi di Somalia, 2.000 ton beras untuk pengungsi etnis Rohingya di perbatasan Myanmar dan Bangladesh, 2.000 ton beras untuk rakyat Palestina di Gaza, dan juga 2.000 ton beras untuk pengungsi Suriah.
“Maka pada Ramadhan kali ini, kita menyalurkan bantuan Kapal Kemanusian yang kita namakan Kapal Ramadhan ke daerah Indonesia Timur,” kata Imam kepada Republika.co.id, Kamis (21/6).
Menurut Imam, program Kapal Ramadhan itu selaras dengan program ACT lainnya yaitu program 100 Pulau Tepian Negeri. “Kita ini kan negara kepulauan. Jadi, untuk menyambungkan satu titik ke titik lainnya yang paling bisa diandalkan adalah melalui kapal,” kata Imam.
Untuk target tujuan pertama program Kapal Ramadhan itu memang ditujukan ke Indonesia Timur. Ini karena berdasarkan data statistik dari pemerintah, masih ada daerah di Indonesia Timur yang masih memerlukan bantuan. Terutama, Provinsi NTT.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), hingga akhir 2016, NTT masuk peringkat ketiga untuk jumlah penduduk miskin di Indonesia. Yang pertama dan kedua adalah Provinsi Papua dan Papua Barat. Jumlah penduduk miskin di NTT mencapai 22,01 persen atau 1.150.080 orang dari sekitar 5, 2 juta penduduk provinsi ini.
Meski sudah menerima bantuan, Imam mengatakan pihaknya tak akan meninggalkan daerah yang sudah mendapat bantuan. “Kita tak akan melupakan daerah yang sudah kita bantu,” kata Imam.
Kapal ferry yang membawa 10 ribu bantuan paket Kapal Ramadhan ACT saat tiba di pelabuhan Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Dari Kapal Ramadhan ini, para relawan menyalurkan bantuan ke penduduk yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Foto: Dokumen ACT
Apalagi, ACT memiliki program Desa Wakaf. Di mana, satu desa akan diberdayakan dalam jangka panjang. Dalam program ini, penduduk di desa yang biasanya menerima bantuan, akan diupayakan menjadi orang yang memberikan bantuan.
“Penduduk yang biasanya menerima zakat, akan kita upayakan ke depannya mereka yang memberi zakat,” kata Imam.
Karena itu, program ini memerlukan dukungan dari semua pihak. “Apalagi, bagi orang-orang yang sudah mampu untuk berzakat dan menyalurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan melalui program Desa Wakaf ini,” kata Imam.